Yayasan Asih Putera Hotline : 081320267490
Image

Menyontek Itu Bolehkah?

Oleh: Edwin Wahyudin, M.Pd. (Guru MA Multiteknik Asih Putera)

Masa penilaian akhir semester (PAS) telah usai. Pekan berikutnya guru-guru disibukkan dengan memeriksa hasil PAS atau istilah dulu adalah hasil ulangan akhir semester. Guru-guru begitu saksama memeriksa hasil pekerjaan para muridnya. Setelah memeriksa hasil dari beberapa anak, guru tersebut dikagetkan dengan jawaban beberapa anak yang sama. Kemudian diteliti lagi. Mulai dari skor akhir, kemudian beralih kepada hasil pilihan jawaban ganda dan hasil uraian atau esai. Karena melihat pola jawabannya yang sama, maka guru tersebut langsung menduga bahwa anak-anak tersebut bekerja sama, saling menyontek.

Karena penasaran, guru itu pun bertanya kepada bapak/ibu guru lainnya yang mengajar di kelas yang sama. Eh, ternyata beberapa guru mengiyakan. Akhirnya, guru-guru pun berinisiatif untuk memanggil anak-anak yang terindikasi menyontek itu. Dengan persetujuan Guru BK, Wakil Kepala Kesiswaan, Wakil Kepala Kurikulum, dan Kepala Sekolah, dipanggillah anak-anak tersebut.

Seperti layaknya di persidangan, para terdakwa diminta berdiri/duduk berjajar. Hakim dan jaksa penuntutnya adalah para guru. Dengan gaya layaknya seorang advokat ulung, beberapa guru mengintrogasi anak-anak dengan pertanyaan-pertanyaan yang “menyudutkan”.  Akhirnya, anak-anak itu pun menjawabnya. Mereka menjawab dengan polosnya. Mereka bersikap berani dengan menyatakan bahwa mereka memang menyontek dan saling bekerja sama. Bahkan, mereka siap jika guru tidak memberikan nilai dan siap mengulang ujiannya.

Di satu sisi, guru-guru mengapresiasi kejujuran mereka. Namun, di sisi yang lain, mereka pun kecewa dengan perbuatan anak-anak tersebut. Anak-anak itu jujur karena guru-guru telah mampu mengidentifikasi kecurangannya dan mampu menyudutkan mereka dengan pertanyaan-pertanyaan yang sangat memojokkan mereka untuk mengakui perbuatannya.

Sebenarnya, perbuatan mereka ini bukanlah yang pertama. Bahkan, memang bukan mereka saja yang melakukan itu. Mungkin ada teman-teman yang lainnya, tapi entah mereka bersikap berani atau mereka tidak mau kalau orang lain terkena hukuman seperti mereka. Mereka tidak mau mengungkapkan atau melaporkan tentang orang lain. Sebuah sikap tenggang rasa yang bagus. Ya, walaupun mungkin dalam tempat yang salah.

Baik, sebelum dilanjutkan ke kisah penyontekan di atas, penulis akan sedikit mengulas tentang “menyontek” ini. Dalam kebahasaan sehari-hari, mungkin lebih familiar dengan istilah “mencontek”.

Kata “mencontek” merupakan kata yang tidak baku dalam leksem bahasa Indonesia. Kata dasar yang benarnya adalah “sontek”. Jika dilekati dengan imbuhan “me-N”, maka huruf “S”-nya mengalami ‘nasalisasi’ atau lebur menjadi “meny”. Jadi bentuk kata jadian yang benarnya adalah “menyontek”.

Menyontek dalam KBBI diartikan dengan “mengutip (tulisan dan sebagainya) sebagaimana aslinya; menjiplak”. Dalam Tesaurus, menyontek memiliki padanan kata yang banyak, seperti: mencontoh, meniru, menjiplak, menyalin, membeo, menyerupai, dll.

Pada dasarnya, perbuatan menyontek, menjiplak, meniru, menyalin adalah diperbolehkan. Bahkan, dalam kasus tertentu menjadi keharusan. Ada sebuah pernyataan yang dikeluarkan oleh seorang filusuf abad 18-an, Ralph Waldo Emerson, filusuf dengan aliran eksistensialisme. Beliau menyatakan:

“Setiap buku adalah kutipan; setiap rumah adalah kutipan seluruh rimba raya dan tambang serta bebatuan; setiap manusia adalah kutipan dari semua leluhurnya, Ralph Waldo Emerson.

Jadi, masalah kutip-mengutip atau sontek-menyontek adalah suatu kelumrahan karena tidak ada teori yang berdiri sendiri, semua berdasar pada teori yang mendahuluinya. Tidak ada hasil teknologi yang sempurna, semua dipelajari berdasarkan hasil bentuk sederhana atau bahkan dari kegagalan sebelumnya. Dan .... itu adalah proses mengutip atau menyontek.

Pada zamannya dan bahkan mungkin sampai sekarang, setiap pernyataan dari Nabi Muhammad, Rasulullah Saw. atau yang dikenal dengan hadis, riwayat penuturannya harus sampai kepada beliau atau setidaknya sampai kepada para sahabat yang banyak meriwayatkan hadis seperti Abu Hurairah r.a., Anas bin Malik r.a., Ibnu Umar r.a., Aisyah r.a. (istri dan anak dari Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a.), dll. Maka tuturan itu dinyatakan shahih atau memiliki tingkat validitas yang tinggi. Proses penukilan (penyontekan) riwayat ini harus dilakukan agar terjamin kebenaran hadis tersebut. Jika ada sanadnya yang kurang teliti, kurang cerdas, memiliki daya ingat yang lemah, maka orang yang tersebut dalam sanad tersebut tidak dapat dipercaya. Hadis-hadis yang diriwayatkannya akan dikelompokkan ke dalam hadis palsu (maudu’), hadis yang dibuat-buat, hadis yang tidak boleh dijadikan sandaran berhujah.

Ah, terlalu berat sepertinya mengulas perumpamaan seperti di atas. Padahal, yang ingin disampaikan hanyalah perihal menyontek. Namun, maksudnya adalah bahwa dalam menukil sebuah hukum, harus jelas referensinya. Maka menjadi keharusan untuk ‘menyontek’ tersebut.

Menyontek tanpa izin dan ditujukan atau dimanfaatkan untuk keuntungan pribadi bahkan jika itu bernilai ekonomis, maka pelaku perbuatan tersebut akan dihukum minimal 1 tahun penjara dengan denda minimal Rp100.000.000 (seratus juta rupiah), UU RI No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Lalu, bagaimana jika menyontek itu dimanfaatkan untuk memeroleh nilai yang baik atau dinyatakan lulus dalam sebuah ujian. Perilaku seperti ini dianggap sebagai “pembohongan publik” atau perilaku curang.

Rasulullah Saw. pernah memberi nasihat kepada seorang penjual di pasar yang disinyalir berbuat curang. Sabda beliau, “...Ketahuilah, barangsiapa menipu maka dia bukan dari golongan kami.” (HR. Muslim no. 102).

Seorang penipu tidak akan diakui sebagai umatnya nanti di Yaumil Akhir dan jika bukan umat yang diakui oleh Rasul, maka dia tidak akan mendapat syafa’atnya nanti.

Berlaku curang sesungguhnya akan berdampak negatif kepada pelakunya. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 9:

 “Mereka (hendak) menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanyalah menipu diri sendiri tanpa mereka sadari.”

Mengapa menyontek dapat merugikan diri sendiri? Jika seseorang menyontek dan hasilnya dia manfaatkan untuk kepentingan dirinya, misalnya ingin menjadi juara kelas atau ingin bekerja. Maka selaman hidupnya akan dipenuhi dengan perasaan bersalah. Akhirnya jiwanya terganggu. Selain itu, dia akan dicemooh oleh orang lain terlebih dia tidak mampu mempertanggungjawabkan dengan keterampilan hidup yang sesungguhnya. Misal, dalam ujian meramu suatu makanan dengan takaran standar. Nilainya bagus, bahkan mungkin sempurna. Tapi, dia dapatkan dengan menyontek. Saat diminta dipraktikkan, dia tidak tahu apa-apa, bahan-bahannya tidak hapal, takarannya tidak ingat, maka yang terjadi adalah makanan yang tidak sempurna, bahkan mungkin ‘galtot’ (gagal total).

Seseorang yang terbiasa menyontek akan dicap sebagai penyontek atau sebagai pendusta. Kehidupan berikutnya akan berhiaskan dengan perbuatan mencuri, korupsi, dll. Jika sudah demikian, maka rendahlah martabat dia di hadapan orang lain, apalagi di hadapan Allah SWT. Mereka tidak akan mendapatkan salam dari para Malaikat. Sementara, mereka yang berlaku jujur, berlaku baik, maka dia akan ditempatkan di surga dan akan mendapatkan ucapan “salam” dari para Malaikat.

Dalam dunia pendidikan, tentu saja guru-guru tidak mau anak-anak muridnya memiliki perilaku suka menyontek, terutama saat ulangan/ujian/penilaian. Oleh karena itu, ada beberapa tips yang bisa dilakukan untuk menghindari perilaku menyontek tersebut.

1.     Biasakan membuat soal yang bukan merujuk pada konsep yang dihapal, tapi soal yang meminta anak murid untuk mengeksplorasi pemikiran. Bentuk soal yang dimaksud, kekinian disebut dengan soal HOTS (high order thinking skills).

2.     Pada bagian awal soal dituliskan peringatan agar:

a.     mengawali dengan basmallah, berdoa, meminta kepada Allah SWT agar diberi kemudahan;

b.     menjawab soal-soal yang dianggap lebih mudah terlebih dahulu;

c.     tidak membuka buku, tidak berusaha menyontek hasil teman, atau membuka aplikasi lain selain soal itu sendiri;

3.     Pada bagian akhir, diingatkan agar membaca hamdallah dan menulis sebuah pernyataan bahwa “demi Allah, saya menjawab soal-soal ini sendiri, tanpa menyontek atau bantuan dari orang lain”.

4.     Menegaskan bahwa jika ada yang ketahuan menyontek, maka hasil ujiannya tidak akan dimasukkan ke dalam nilai.

5.     Konsisten dengan keputusan poin no.4.

Dengan tips tersebut, diharapkan kebiasaan buruk menyontek saat ujian akan berkurang bahkan tidak ada. Selain itu, guru berkewajiban untuk mengingatkan dengan lemah lembut, tidak mendakwa tanpa bukti, dan mengajak ke alam bawah sadar mereka bahwa menyontek itu salah dan berdosa.

Kesimpulannya, menyontek itu boleh dilakukan agar perbuatan atau suatu prosedur yang akan dikerjakan menjadi tidak salah dan tidak berisiko. Bahkan, diharuskan ketika terkait dengan masalah hukum agar hukum itu bisa ditegakkan dengan benar dan adil serta terpercaya. Namun, jika menyontek dijadikan sebagai alat untuk menguntungkan diri sendiri, misalnya dalam ujian, atau bahkan untuk kepentingan ekonomi, maka pelakunya akan dihukum berdasarkan hukum nasional atau bahkan akan mendapat laknat dari manusia dan Allah SWT sehingga kehidupannya menjadi tidak berkah dan selamanya akan dihantui perasaan bersalah. Hidupnya menjadi tidak tenang.***