Menyontek Itu Bolehkah?
Oleh: Edwin Wahyudin, M.Pd. (Guru MA Multiteknik Asih Putera)
Masa penilaian
akhir semester (PAS) telah usai. Pekan berikutnya guru-guru disibukkan dengan
memeriksa hasil PAS atau istilah dulu adalah hasil ulangan akhir semester.
Guru-guru begitu saksama memeriksa hasil pekerjaan para muridnya. Setelah
memeriksa hasil dari beberapa anak, guru tersebut dikagetkan dengan jawaban beberapa
anak yang sama. Kemudian diteliti lagi. Mulai dari skor akhir, kemudian beralih
kepada hasil pilihan jawaban ganda dan hasil uraian atau esai. Karena melihat
pola jawabannya yang sama, maka guru tersebut langsung menduga bahwa anak-anak
tersebut bekerja sama, saling menyontek.
Karena penasaran, guru
itu pun bertanya kepada bapak/ibu guru lainnya yang mengajar di kelas yang
sama. Eh, ternyata beberapa guru mengiyakan. Akhirnya, guru-guru pun
berinisiatif untuk memanggil anak-anak yang terindikasi menyontek itu. Dengan
persetujuan Guru BK, Wakil Kepala Kesiswaan, Wakil Kepala Kurikulum, dan Kepala
Sekolah, dipanggillah anak-anak tersebut.
Seperti layaknya di
persidangan, para terdakwa diminta berdiri/duduk berjajar. Hakim dan jaksa penuntutnya
adalah para guru. Dengan gaya layaknya seorang advokat ulung, beberapa guru
mengintrogasi anak-anak dengan pertanyaan-pertanyaan yang “menyudutkan”. Akhirnya, anak-anak itu pun menjawabnya.
Mereka menjawab dengan polosnya. Mereka bersikap berani dengan menyatakan bahwa
mereka memang menyontek dan saling bekerja sama. Bahkan, mereka siap jika guru
tidak memberikan nilai dan siap mengulang ujiannya.
Di satu sisi,
guru-guru mengapresiasi kejujuran mereka. Namun, di sisi yang lain, mereka pun
kecewa dengan perbuatan anak-anak tersebut. Anak-anak itu jujur karena
guru-guru telah mampu mengidentifikasi kecurangannya dan mampu menyudutkan
mereka dengan pertanyaan-pertanyaan yang sangat memojokkan mereka untuk
mengakui perbuatannya.
Sebenarnya,
perbuatan mereka ini bukanlah yang pertama. Bahkan, memang bukan mereka saja
yang melakukan itu. Mungkin ada teman-teman yang lainnya, tapi entah mereka
bersikap berani atau mereka tidak mau kalau orang lain terkena hukuman seperti
mereka. Mereka tidak mau mengungkapkan atau melaporkan tentang orang lain.
Sebuah sikap tenggang rasa yang bagus. Ya, walaupun mungkin dalam tempat yang
salah.
Baik, sebelum
dilanjutkan ke kisah penyontekan di atas, penulis akan sedikit mengulas tentang
“menyontek” ini. Dalam kebahasaan sehari-hari, mungkin lebih familiar dengan
istilah “mencontek”.
Kata “mencontek”
merupakan kata yang tidak baku dalam leksem bahasa Indonesia. Kata dasar yang
benarnya adalah “sontek”. Jika dilekati dengan imbuhan “me-N”, maka huruf
“S”-nya mengalami ‘nasalisasi’ atau lebur menjadi “meny”. Jadi bentuk kata jadian
yang benarnya adalah “menyontek”.
Menyontek dalam
KBBI diartikan dengan “mengutip
(tulisan dan sebagainya) sebagaimana aslinya; menjiplak”. Dalam Tesaurus,
menyontek memiliki padanan kata yang banyak, seperti: mencontoh, meniru,
menjiplak, menyalin, membeo, menyerupai, dll.
Pada
dasarnya, perbuatan menyontek, menjiplak, meniru, menyalin adalah
diperbolehkan. Bahkan, dalam kasus tertentu menjadi keharusan. Ada sebuah
pernyataan yang dikeluarkan oleh seorang filusuf abad 18-an, Ralph Waldo
Emerson, filusuf dengan aliran eksistensialisme. Beliau menyatakan:
“Setiap
buku adalah kutipan; setiap rumah adalah kutipan seluruh rimba raya dan tambang
serta bebatuan; setiap manusia adalah kutipan dari semua leluhurnya, Ralph
Waldo Emerson.
Jadi, masalah
kutip-mengutip atau sontek-menyontek adalah suatu kelumrahan karena tidak ada
teori yang berdiri sendiri, semua berdasar pada teori yang mendahuluinya. Tidak
ada hasil teknologi yang sempurna, semua dipelajari berdasarkan hasil bentuk
sederhana atau bahkan dari kegagalan sebelumnya. Dan .... itu adalah proses
mengutip atau menyontek.
Pada zamannya dan
bahkan mungkin sampai sekarang, setiap pernyataan dari Nabi Muhammad, Rasulullah
Saw. atau yang dikenal dengan hadis, riwayat penuturannya harus sampai kepada
beliau atau setidaknya sampai kepada para sahabat yang banyak meriwayatkan
hadis seperti Abu Hurairah r.a., Anas bin Malik r.a., Ibnu Umar r.a., Aisyah
r.a. (istri dan anak dari Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a.), dll. Maka tuturan itu
dinyatakan shahih atau memiliki tingkat validitas yang tinggi. Proses penukilan
(penyontekan) riwayat ini harus dilakukan agar terjamin kebenaran hadis
tersebut. Jika ada sanadnya yang kurang teliti, kurang cerdas, memiliki daya
ingat yang lemah, maka orang yang tersebut dalam sanad tersebut tidak dapat
dipercaya. Hadis-hadis yang diriwayatkannya akan dikelompokkan ke dalam hadis
palsu (maudu’), hadis yang dibuat-buat, hadis yang tidak boleh dijadikan
sandaran berhujah.
Ah, terlalu berat
sepertinya mengulas perumpamaan seperti di atas. Padahal, yang ingin
disampaikan hanyalah perihal menyontek. Namun, maksudnya adalah bahwa dalam
menukil sebuah hukum, harus jelas referensinya. Maka menjadi keharusan untuk
‘menyontek’ tersebut.
Menyontek tanpa izin dan ditujukan
atau dimanfaatkan untuk keuntungan pribadi bahkan jika itu bernilai ekonomis,
maka pelaku perbuatan tersebut akan dihukum minimal 1 tahun penjara dengan
denda minimal Rp100.000.000 (seratus juta rupiah), UU RI No. 28 Tahun 2014
tentang Hak Cipta.
Lalu, bagaimana jika menyontek itu
dimanfaatkan untuk memeroleh nilai yang baik atau dinyatakan lulus dalam sebuah
ujian. Perilaku seperti ini dianggap sebagai “pembohongan publik” atau perilaku
curang.
Rasulullah Saw. pernah memberi nasihat
kepada seorang penjual di pasar yang disinyalir berbuat curang. Sabda beliau,
“...Ketahuilah, barangsiapa menipu maka dia bukan
dari golongan kami.”
(HR. Muslim no. 102).
Seorang
penipu tidak akan diakui sebagai umatnya nanti di Yaumil Akhir dan jika bukan
umat yang diakui oleh Rasul, maka dia tidak akan mendapat syafa’atnya nanti.
Berlaku curang
sesungguhnya akan berdampak negatif kepada pelakunya. Allah SWT berfirman dalam
QS. Al-Baqarah ayat 9:
“Mereka (hendak) menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanyalah menipu diri sendiri tanpa mereka sadari.”
Mengapa menyontek
dapat merugikan diri sendiri? Jika seseorang menyontek dan hasilnya dia
manfaatkan untuk kepentingan dirinya, misalnya ingin menjadi juara kelas atau
ingin bekerja. Maka selaman hidupnya akan dipenuhi dengan perasaan bersalah. Akhirnya
jiwanya terganggu. Selain itu, dia akan dicemooh oleh orang lain terlebih dia
tidak mampu mempertanggungjawabkan dengan keterampilan hidup yang sesungguhnya.
Misal, dalam ujian meramu suatu makanan dengan takaran standar. Nilainya bagus,
bahkan mungkin sempurna. Tapi, dia dapatkan dengan menyontek. Saat diminta
dipraktikkan, dia tidak tahu apa-apa, bahan-bahannya tidak hapal, takarannya
tidak ingat, maka yang terjadi adalah makanan yang tidak sempurna, bahkan
mungkin ‘galtot’ (gagal total).
Seseorang
yang terbiasa menyontek akan dicap sebagai penyontek atau sebagai pendusta. Kehidupan
berikutnya akan berhiaskan dengan perbuatan mencuri, korupsi, dll. Jika sudah
demikian, maka rendahlah martabat dia di hadapan orang lain, apalagi di hadapan
Allah SWT. Mereka tidak akan mendapatkan salam dari para Malaikat. Sementara,
mereka yang berlaku jujur, berlaku baik, maka dia akan ditempatkan di surga dan
akan mendapatkan ucapan “salam” dari para Malaikat.
Dalam dunia pendidikan, tentu saja guru-guru
tidak mau anak-anak muridnya memiliki perilaku suka menyontek, terutama saat
ulangan/ujian/penilaian. Oleh karena itu, ada beberapa tips yang bisa dilakukan
untuk menghindari perilaku menyontek tersebut.
1.
Biasakan membuat soal yang bukan merujuk pada
konsep yang dihapal, tapi soal yang meminta anak murid untuk mengeksplorasi
pemikiran. Bentuk soal yang dimaksud, kekinian disebut dengan soal HOTS (high
order thinking skills).
2.
Pada bagian awal soal dituliskan peringatan agar:
a.
mengawali dengan basmallah, berdoa, meminta
kepada Allah SWT agar diberi kemudahan;
b.
menjawab soal-soal yang dianggap lebih mudah
terlebih dahulu;
c.
tidak membuka buku, tidak berusaha menyontek
hasil teman, atau membuka aplikasi lain selain soal itu sendiri;
3.
Pada bagian akhir, diingatkan agar membaca
hamdallah dan menulis sebuah pernyataan bahwa “demi Allah, saya menjawab
soal-soal ini sendiri, tanpa menyontek atau bantuan dari orang lain”.
4.
Menegaskan bahwa jika ada yang ketahuan
menyontek, maka hasil ujiannya tidak akan dimasukkan ke dalam nilai.
5.
Konsisten dengan keputusan poin no.4.
Dengan tips tersebut, diharapkan kebiasaan buruk
menyontek saat ujian akan berkurang bahkan tidak ada. Selain itu, guru
berkewajiban untuk mengingatkan dengan lemah lembut, tidak mendakwa tanpa
bukti, dan mengajak ke alam bawah sadar mereka bahwa menyontek itu salah dan
berdosa.
Kesimpulannya, menyontek itu boleh dilakukan agar
perbuatan atau suatu prosedur yang akan dikerjakan menjadi tidak salah dan
tidak berisiko. Bahkan, diharuskan ketika terkait dengan masalah hukum agar
hukum itu bisa ditegakkan dengan benar dan adil serta terpercaya. Namun, jika
menyontek dijadikan sebagai alat untuk menguntungkan diri sendiri, misalnya
dalam ujian, atau bahkan untuk kepentingan ekonomi, maka pelakunya akan dihukum
berdasarkan hukum nasional atau bahkan akan mendapat laknat dari manusia dan
Allah SWT sehingga kehidupannya menjadi tidak berkah dan selamanya akan
dihantui perasaan bersalah. Hidupnya menjadi tidak tenang.***