Saatnya Bertualang
Oleh: Edi S.
Ahmad
Hasrat untuk
melakukan hal baru yang lebih menantang menghinggapi hampir semua anak di
rentang usia 12-15 tahun. Pergaulannya yang lebih intens dengan teman sebaya,
memberinya keberanian lebih untuk melakukan petualangan baru itu bersama-sama.
Hasrat bertualang ini adalah kombinasi dari rasa ingin tahu yang besar,
pertemanan sebaya yang kuat, ditunjang energi besar yang memerlukan penyaluran.
Inilah tantangan khas yang dihadapi orangtua dan pendidik di periode
kanak-kanak akhir, sebuah periode transisi menuju dewasa muda.
Dalam perspektif
pendidikan holistik, masa usia ini adalah periode emas membangun pola
pertemanan yang sehat. Mengingat bahwa pada usia ini anak tidak ingin terlalu
diatur oleh orang dewasa di sekitarnya. Sehingga kesempatan bertualang itu
harus diberikan sekaligus sebagai sebuah persiapan mental dari sisi orangtua
bahwa pada waktunya anak akan lebih banyak berada di luar rumah bersama
teman-teman sebayanya.
Titik krusialnya
adalah seberapa percaya dan seberapa tega orang dewasa di sekitarnya rela
melepas anak, bergabung dengan teman sebayanya, dan membiarkan mereka melakukan
petualangannya sendiri? Dengan kata lain, proses pendidikan haruslah dengan
sadar mempersiapkan hal ini. Anak dilatih untuk memiliki prasyarat minimal agar
dapat dilepas bebas dengan penuh percaya diri ketika masa itu tiba.
Sekolah yang baik adalah sekolah yang merencanakan hal ini di dalam kurikulumnya. Jika kurikulum kepanduan pada usia SD dimaksudkan untuk melatih tanggung jawab kemusliman, maka di usia SMP kurikulum kepanduan diarahkan untuk melatih anak membuat keputusan yang bertanggung jawab. Segala keputusan harus berangkat dari ilmu. Dan bahwa dirinya amatlah berharga sehingga segala sesuatu yang dapat berakibat buruk pada dirinya haruslah dihindari dan diwaspadai.
Sebagaimana yang
dimaklumi, pelajaran membuat keputusan tidak cukup diteorikan. Ia adalah
keterampilan yang harus diasah di lapangan dengan jam terbang yang cukup.
Program kepanduan di usia SMP ini seyogyanya mendudukkan anak sebagai subjek
kegiatan. Anak bukan hanya terlibat dalam kegiatan yang sudah direncakan oleh
orang dewasa, bahkan ia terlibat dalam perencanaan kegiatannya itu sendiri.
Termasuk dalam membuat keputusan-keputusan penting yang menyertainya.
Jika anak terlibat
dalam perencanaan, tentu mereka akan merasa memiliki dan mengerti betul maksud,
tujuan, serta target (goals) dari kegiatan tersebut. Mereka juga secara sadar
berusaha mempersiapkan fisik dan mental dengan sebaik-baiknya sebagai antsipasi
menghadapi situasi yang penuh tantangan.
Ada banyak pilihan
kegiatan kepanduan di usia ini, hampir seluruhnya bernuansa jelajah. Sebutlah
beberapa diantaranya: hiking rally, cross country, peta buta, jurit malam,
berkemah, mendaki gunung, menyusuri sungai, atau menjelajah pantai. Dalam kegiatan
berkemah pun, banyak aktivitas kelompok yang menyertainya seperti aneka lomba
dan games, tampilan seni, membuat karya, dan lain-lain.
Di semua kegiatan
itu, yang dilakukan secara beregu atau berkelompok, kekompakan regu benar-benar
diuji. Proses “silih asah silih asih dan silih asuh” secara sadar atau tidak
sadar dipraktikkan. Boleh jadi dan memang sangat mungkin selama berkegiatan itu
mereka saling gesek, saling gasak, saling debat di antara mereka untuk setiap
keputusan yang mereka buat. Sejauh mereka sadar tentang arti penting tujuan
bersama yang harus dicapai, akhir ceritanya insyaa Allah akan selalu baik.
Ada banyak manfaat
yang diperoleh anak dari proses ini. Pertama, melatih manajemen
diri. Setiap kegiatan yang bernuansa petualangan tentu mengandung unsur
bahaya, sehingga dibutuhkan perencaaan yang matang, menyangkut tujuan, jenis
tantangan yang akan dihadapi, perbekalan yang harus disiapkan, pembiayaan, dan
lain-lain
Kedua,
menumbuhkan sikap positif.
Anak sudah dilatih untuk bersikap tanggung jawab, konsisten, dan kooperatif.
Anak dituntut untuk menjaga keutuhan kelompoknya, senang bersama, sakit
bersama. Setiap anak mengukur kemampuan dan kekurangan dirinya dan kelompoknya
agar keutuhan kelompok selalu terjaga.
Ketiga,
memiliki daya cipta. Berarti
memiliki kemampuan untuk menciptakan, atau membuat sesuatu yang berbeda. Itulah
makna kreatif, yang juga dapat dilatih dengan berkegiatan di alam bebas.
Contohnya, anak bisa menggunakan daun pisang untuk alas makan, atau membuat
alas empuk dari rerumputan untuk alas tidur. Anak juga dituntut sigap yang
mengandung makna tangkas, cepat, dan kuat, dalam menghadapi kondisi alam yang
tidak terprediksi, semisal langit yang cerah tiba-tiba hujan.
Keempat,
lebih mengenal diri sendiri dan orang lain. Ia lebih dapat mengendalikan perasaannya, mengetahui
kekurangan dan kelebihannya, merasakan kesyukuran kepada Sang Maha Pencipta
sekaligus mengalirkan energi positif untuk menghadapi hari esok dengan lebih
optimis.
Terakhir dan tidak
kurang pentingnya, anak dituntut untuk selalu terhubung kepada Allah. Dalam
tekanan rasa lelah dan banyaknya unsur ketidakpastian, obatnya adalah lisan
yang terus berdzikir serta hati dan pikiran yang terus tafakkur. Setiap
kegiatan diawali dengan sikap tawakkal -- yakni bergantung sepenuhnya kepada
Allah Yang Maha Melindungi. Jangan lupa bahwa mereka memiliki tanggung jawab
kepada Tuhannya melalui sholat, dan tanggung jawab kepada kedua orangtuanya
melalui doa-doa yang dipanjatkan.
Semua sikap yang
dibentuk dari kegiatan di alam bebas diharapkan dapat diaplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari. Sehingga outcome dari kegiatan ini adalah anak yang
lebih matang secara fisik, mental, dan spiritual. Terlatih membuat keputusan
dan siap menjalani konsekuensi dari keputusan itu. Menjadi anak yang tangkas,
tangguh, dan dapat diandalkan.
Dengan kualitas
diri semacam ini, diharapkan anak memiliki kesadaran untuk memilih lingkungan
berteman yang baik. Ia ikut mewarnai lingkungannya, dan bukannya terwarnai.
KBB, 29 November
2022/5 Jumadil Awwal 1444 H
Edi S. Ahmad (Ketua Yayasan)