Tanggung Jawab
Oleh: Edi S. Ahmad
Setelah puas dengan masa bermain, anak usia tujuh tahun mulai memasuki fase menata diri. Fase emas untuk belajar bertanggung jawab. Seperti akar katanya, tanggung dan jawab, ia bermakna kesanggupan untuk menanggung akibat dari perbuatannya, serta mampu menjawab alasan dari perbuatannya berdasarkan ukuran, nilai, dan norma yang disepakati.
Masa usia sekolah dasar adalah periode emas
untuk melatih tanggung jawab itu. Mulai dari tanggung jawab yang sederhana
seperti menjaga barang pribadi miliknya, hingga tanggung jawab yang besar:
menjadi seorang muslim yang mukallaf. Masa mukallaf (menanggung beban
menjalankan syariat Islam) akan datang manakala seseorang telah mencapai umur
tertentu yang ditandai oleh mimpi basah pada laki-laki dan menstruasi pada
perempuan. Proses menjadi mukallaf tidaklah serta merta, ia adalah proses
panjang pendidikan kesadaran, dan proses meneladani figur orang dewasa di
sekitarnya.
Kita sadari, tidaklah mudah untuk menjadi
seorang muslim, karena perilakunya dibatasi oleh aturan syariat yang ketat. Ada
sejumlah kewajiban yang harus ditunaikan, dan sejumlah larangan yang harus
dijauhi. Akan tetapi, hanya dengan menjadi muslim yang baiklah manusia dijamin
bahagia di dunia yang fana ini dan kebahagiaan abadi di akhirat kelak.
Pendidikan bagi tanggung jawab kemusliman
bukanlah tentang memperjuangkan hak untuk diri sendiri. Akan tetapi bagaimana
menjaga hak-hak orang lain atas dirinya. Sebagai hamba Allah SWT, seorang
muslim diajarkan menjaga hak-hak Allah atas dirinya sebagaimana seorang anak
diajarkan menjaga hak-hak orang tua atas dirinya.
Dalam proses pendidikan ini, idealnya
seorang ayah memerankan dirinya sebagai the living Qur’an, menjadi sosok
teladan dalam membawa peran sebagai hamba Allah dan sebagai anak dari orang tuanya.
Bagaimana hak-hak Allah dan hak-hak orang tua ditunaikannya dengan baik.
Kebiasaan anak melakukan kewajiban sholat hanya mungkin tumbuh dalam lingkungan
keluarga dan masyarakat yang mempraktikkannya. Sebagaimana kewajiban “babakti
ka sepuh” (berbakti kepada kedua orang tua) juga akan mudah dicerna ketika
keluarga dan masyarakatnya memperlakukan orang tua sebagaimana yang seharusnya.
Maka beruntunglah anak yang hidup dalam
lingkungan keluarga yang taat, terlebih lagi jika berada dalam lingkungan
masyarakat yang taat. Dalam situasi yang menguntungkan semacam ini, sekolah
tinggal melengkapinya dengan kecakapan atau kompetensi ibadah (aspek how to-nya),
serta sisi kognitif yang menggugah kesadarannya (aspek why). Semua itu
untuk melengkapi kerangka berpikir kemuslimannya.
Sekolah yang concern pada tanggung
jawab kemusliman kepada anak didiknya, layak diapresiasi. Para orang tua tentu
akan terbantu mengingat tidak mudahnya membangun rasa tanggung jawab ini. Namun
tidak pada tempatnya apabila orang tua berlepas tangan kemudian menyerahkan
seluruh prosesnya kepada sekolah. Karena keteladanan yang ditunjukkan orang tua
dan tegasnya orang tua, khususnya sang ayah, dalam menegakkan peran tanggung
jawab ini tidak tergantikan oleh siapapun, tidak juga oleh sekolah.
Program kepanduan di sekolah dalam kaitan
ini menjadi penting. Terlebih jika dipadukan atau diintegrasikan dengan
tanggung jawab kemusliman. Syarat Kecakapan Umum (SKU) yang dikenal dalam
kepanduan, akan memandu anak langkah per langkah untuk menjadi lebih
bertanggung jawab. Atmosfer kompetisi dan kolaborasi dalam kepanduan dengan
sendirimya akan memacu anak untuk berlomba dalam meningkatkan kapasitas
dirinya. Dan demikian pula kualitas tanggung jawabnya.
Outcome dari proses ini akan menjadikan anak
lebih percaya diri. Anak bersyukur menjadi dirinya sendiri. Karena dalam proses
memerankan tanggung jawab ini tidak pada tempatnya satu anak diperbandingkan
dengan anak lainnya. Yang ada adalah menggali kemampuan diri dalam upaya
memenuhi tanggung jawab pribadinya. Walaupun secara umum tanggung jawab pribadi
itu sama, akan tetapi bobot pembebanannya akan sangat tergantung pada kemampuan
individunya.
Terbayang bahwa dalam program kepanduan
ini, ada anak yang memimpin sebagaimana ada anak yang dipimpin. Bagaimana sang
pemimpin belajar membangun kolaborasi, berbagi tanggung jawab dengan seluruh
anak buahnya, dan berupaya membawa timnya mampu bersaing di hadapan regu-regu
lainnya.
Mendidik tanggung jawab kemusliman pada
anak sungguh tidak dapat dilakukan sendiri. “Dibutuhkan orang sekampung
untuk mendidik seorang anak ” -- kata pepatah Afrika.
Hari Guru, KBB, 25 November 2022
1 Jumadil Awwal 1444 H
Edi S Ahmad (Ketua Yayasan Asih Putera)