APAKAH RANKING KELAS MASIH DIPERLUKAN?
Oleh: Handi Komara, S.Pd.I (Guru Kelas 5 MI Asih Putera)
Pemaparan Masalah
Beberapa
jam setelah pembagian rapor, penulis mendapat setidaknya tiga chat pribadi di
WhatsApp dari orang tua. Isinya kira-kira sama. Mereka menanyakan ranking anak
mereka. Ini hampir selalu terjadi di setiap pembagian rapor. Baik di semester
gasal, maupun di semester akhir atau kenaikan kelas.
Penulis
biasanya menjawab dengan jawaban kira-kira sama. Penulis menanyakan kembali
keperluan ranking tersebut. Apapun jawabannya, penulis berikan ranking
putra-putri mereka.
Jawaban
orang tua biasanya juga sama. Hanya ingin tahu saja. Atau ingin tahu anaknya
seberapa pintar di kelasnya, atau jawaban semacamnya.
Penulis
dari beberapa tahun setelah menjadi guru kelas selalu saja merasa ada yang salah
dengan pemberian ranking bagi anak-anak didik. Seberapa pentingkah ranking ini
bagi anak atau mungkin orangtua? Ini yang akan kita bahas.
Pemecahan Masalah
Ranking
merupakan rata-rata nilai berupa angka, hasil dari asesmen yang dilakukan oleh
guru dalam mengukur ketercapaian peserta didiknya atas suatu materi capaian.
Bagi guru, nilai tersebut diperlukan untuk memperbaiki proses pembelajaran.
Dalam penyusunan data, biasanya guru akan menyelipkan juga data tertinggi,
terendah, rata-rata, jumlah. Nah, nilai rata-rata dari seluruh mata pelajaran
akan disatukan, sehingga guru akan mendapatkan data yang komprehensif dari
ketercapaian setiap peserta didik.
Namun,
entah mulai dari kapan, dan siapa yang memulainya, data rata-rata seluruh mapel
untuk setiap anak dibuatkan data rankingnya. Yang lebih parahnya, malah
dipublikasikan kepada orang tua melalui buku rapor.
Data
ranking tersebut malah sempat menjadi salah satu data yang wajib dicantumkan di dalam rapor. Bahkan ada embel-embel, yang
ranking sekian sampai sekian akan mendapatkan apresiasi apa, gitu. Bukan hanya
sekolah (baca: guru kelas), orangtua juga di rumah ikut-ikutan meramaikan
fenomena pemberian bagi anak yang mendapatkan ranking terbaik ini berupa
hadiah, dan janji-janji lainnya.
Lalu,
pertanyaannya, memang, salahnya di mana, kalau kita mempublikasikan data
ranking tersebut? Tentu saja salah!
Menurut
pemahaman penulis, ranking merupakan salah satu data internal guru kelas yang
(sebenarnya) tidak terlalu diperlukan di laporan penilaiannya. Data nilai pun
sebenarnya lebih ke arah keperluan guru dalam mengasesmen, mengukur
ketercapaian suatu materi pelajaran yang telah diampunya kepada para peserta
didik. Dengan data yang didapatkan, guru tersebut akan dapat menyesuaikan
proses pembelajaran yang dilakukannya dan menjadi refleksi pribadi atas
kemampuannya mendampingi peserta didik dalam mencapai suatu kompetensi.
Hasil
dari asesmen tersebut biasanya berupa dua hal: remedial teaching dan pengayaan.
Remedial teaching adalah kegiatan pembelajaran kembali bagi peserta didik yang
mengalami kesulitan dalam memahami suatu kompetensi materi pelajaran. Sehingga
biasanya, dari data yang didapat, guru akan kembali mengajarkan dan mendampingi
sedemikian rupa anak yang mengalami kesulitan tersebut untuk lebih memahaminya.
Sedangkan pengayaan adalah kegiatan pembelajaran tambahan bagi peserta didik
yang dianggap telah menguasai suatu kompetensi materi pembelajaran, melalui
kegiatan (biasanya) diskusi untuk menstimulus lebih jauh lagi atas kompetensi
peserta didik yang telah dia pahami.
Pemberian
ranking bagi peserta didik menjadi hal positif bagi peserta didik yang
mendapatkan peringkat yang diharapkan. Peserta didik tersebut hanya segelintir
saja di setiap kelas, sedangkan yang tidak mendapatkan peringkat yang
diharapkan adalah sisanya. Artinya, yang akan termotivasi dari sistem ranking
ini hanya segelintir saja. Sisanya tidak terpengaruh sedikitpun, atau bahkan
terpuruk. Merasa bodoh, tidak becus, tidak berguna dan banyak lagi yang lainnya
bentuk dari ketidak percayaan diri.
Ketimbang
manfaatnya, sistem ranking di kelas malah lebih banyak madharatnya. Berikut
penulis coba tuliskan beberapa hal, mengapa sistem ranking sudah tidak relevan
untuk kita jadikan sebagai tolok ukur:
- Setiap individu manusia adalah unik.
Begitupun setiap anak didik kita di kelas. Dengan keunikan tersebut, maka
setiap mereka tidak perlu menguasai seluruh mata pelajaran yang
diikutinya. Si Fulan bisa jadi mudah memahami materi-materi matematika,
namun bisa jadi di materi-materi pelajaran lain dia kurang memahami.
Konsep ini seringkali digambarkan dengan “jangan mengajari ikan memanjat
pohon”. Atau ungkapan senada lainnya.
- Alih-alih berkolaborasi, peserta didik akan
saling menjatuhkan, agar dia nantinya yang akan mengalahkan siapa. Dengan
harapan, dia yang akan mendapatkan ranking yang memuaskan di kelasnya.
Mereka akan saling mengincar peserta didik yang lebih pintar untuk
dijadikan sebagai alat untuk mendongkrak nilai tesnya.
- Alih-alih menikmati proses pembelajaran,
peserta didik akan merasa tertekan dengan target nilai akhir.
- Munculnya kasuistik, peserta didik yang
mendapatkan ranking tidak bagus akan mendapatkan perlakuan yang kurang
menyenangkan dari teman-temannya yang lain. Menjadi stigma negatif di
komunitas belajar.
- Bagi beberapa pihak, sistem ranking ini
dapat dimanipulasi dengan kekuasaan, nepotisme, dan hal lainnya yang
berharga. Sehingga, seringlah terjadi kasus gratifikasi. Orang tua yang
membawakan ‘oleh-oleh’ untuk oknum guru yang dapat merubah nilai anak
didik tertentu.
Kesimpulan
Cukuplah
data nilai, khususnya ranking merupakan data pribadi guru sebagai bentuk
asesmen yang diperlukan untuk mengetahui sejauh mana ketercapaian suatu materi
bagi peserta didiknya. Orangtua, bahkan peserta didik tidak perlu tahu data
tersebut.
Namun,
karena masih ada institusi yang memerlukan data ranking dan data nilai guru
untuk suatu keperluan tertentu, maka guru kelas dapat menyerahkannya. Tentu
akan dalam bentuk resmi. Misalkan untuk keperluan beasiswa, atau diskon yang
diberikan oleh suatu lembaga pendidikan lain, misalnya. Itulah mengapa, penulis
selalu menanyakan alasan di balik permintaan data ranking anak-anaknya.
Kita
dapat berkaca pada pernyataan menteri pendidikan Singapura “Sekolah itu tempat
belajar, bukan tempat berkompetisi” Ong Ye Kung. Atau fisikawan terkenal,
Albert Einstein “Setiap anak itu jenius. Namun, jika kita menilai ikan dari
kemampuannya memanjat pohon, maka ikan itu akan percaya, kalau dia itu bodoh,
tidak percaya diri dan tidak yakin akan masa depannya yang tidak bisa memanjat
pohon.
Bukankah
Allah SWT telah berfirman dalam QS An-Naml ayat 62, yang artinya "Dan
(Dialah) yang menjadikan kalian (manusia) sebagai khalifah di bumi."
Sepemahaman penulis, firman ini dapat juga diartikan, bahwa setiap manusia itu
diciptakan sempurna sebagai pemimpin di bumi.
Akhirnya, semoga kita terus mampu mendampingi anak-anak didik kita sesuai dengan keunikan yang dimilikinya. Tidak fokus pada kekurangan, tapi fokus pada potensi unik yang pasti ada di setiap diri mereka.***
Penulis adalah guru kelas 5 di MI Asih Putera, Ayah dari tiga orang anak.