Yayasan Asih Putera Hotline : 081320267490
Image

APAKAH RANKING KELAS MASIH DIPERLUKAN?

Oleh: Handi Komara, S.Pd.I (Guru Kelas 5 MI Asih Putera)

Pemaparan Masalah

Beberapa jam setelah pembagian rapor, penulis mendapat setidaknya tiga chat pribadi di WhatsApp dari orang tua. Isinya kira-kira sama. Mereka menanyakan ranking anak mereka. Ini hampir selalu terjadi di setiap pembagian rapor. Baik di semester gasal, maupun di semester akhir atau kenaikan kelas.

Penulis biasanya menjawab dengan jawaban kira-kira sama. Penulis menanyakan kembali keperluan ranking tersebut. Apapun jawabannya, penulis berikan ranking putra-putri mereka.

Jawaban orang tua biasanya juga sama. Hanya ingin tahu saja. Atau ingin tahu anaknya seberapa pintar di kelasnya, atau jawaban semacamnya.

Penulis dari beberapa tahun setelah menjadi guru kelas selalu saja merasa ada yang salah dengan pemberian ranking bagi anak-anak didik. Seberapa pentingkah ranking ini bagi anak atau mungkin orangtua? Ini yang akan kita bahas.

Pemecahan Masalah

Ranking merupakan rata-rata nilai berupa angka, hasil dari asesmen yang dilakukan oleh guru dalam mengukur ketercapaian peserta didiknya atas suatu materi capaian. Bagi guru, nilai tersebut diperlukan untuk memperbaiki proses pembelajaran. Dalam penyusunan data, biasanya guru akan menyelipkan juga data tertinggi, terendah, rata-rata, jumlah. Nah, nilai rata-rata dari seluruh mata pelajaran akan disatukan, sehingga guru akan mendapatkan data yang komprehensif dari ketercapaian setiap peserta didik.

Namun, entah mulai dari kapan, dan siapa yang memulainya, data rata-rata seluruh mapel untuk setiap anak dibuatkan data rankingnya. Yang lebih parahnya, malah dipublikasikan kepada orang tua melalui buku rapor.

Data ranking tersebut malah sempat menjadi salah satu data yang wajib dicantumkan di dalam rapor. Bahkan ada embel-embel, yang ranking sekian sampai sekian akan mendapatkan apresiasi apa, gitu. Bukan hanya sekolah (baca: guru kelas), orangtua juga di rumah ikut-ikutan meramaikan fenomena pemberian bagi anak yang mendapatkan ranking terbaik ini berupa hadiah, dan janji-janji lainnya.

Lalu, pertanyaannya, memang, salahnya di mana, kalau kita mempublikasikan data ranking tersebut? Tentu saja salah!

Menurut pemahaman penulis, ranking merupakan salah satu data internal guru kelas yang (sebenarnya) tidak terlalu diperlukan di laporan penilaiannya. Data nilai pun sebenarnya lebih ke arah keperluan guru dalam mengasesmen, mengukur ketercapaian suatu materi pelajaran yang telah diampunya kepada para peserta didik. Dengan data yang didapatkan, guru tersebut akan dapat menyesuaikan proses pembelajaran yang dilakukannya dan menjadi refleksi pribadi atas kemampuannya mendampingi peserta didik dalam mencapai suatu kompetensi.

Hasil dari asesmen tersebut biasanya berupa dua hal: remedial teaching dan pengayaan. Remedial teaching adalah kegiatan pembelajaran kembali bagi peserta didik yang mengalami kesulitan dalam memahami suatu kompetensi materi pelajaran. Sehingga biasanya, dari data yang didapat, guru akan kembali mengajarkan dan mendampingi sedemikian rupa anak yang mengalami kesulitan tersebut untuk lebih memahaminya. Sedangkan pengayaan adalah kegiatan pembelajaran tambahan bagi peserta didik yang dianggap telah menguasai suatu kompetensi materi pembelajaran, melalui kegiatan (biasanya) diskusi untuk menstimulus lebih jauh lagi atas kompetensi peserta didik yang telah dia pahami.

Pemberian ranking bagi peserta didik menjadi hal positif bagi peserta didik yang mendapatkan peringkat yang diharapkan. Peserta didik tersebut hanya segelintir saja di setiap kelas, sedangkan yang tidak mendapatkan peringkat yang diharapkan adalah sisanya. Artinya, yang akan termotivasi dari sistem ranking ini hanya segelintir saja. Sisanya tidak terpengaruh sedikitpun, atau bahkan terpuruk. Merasa bodoh, tidak becus, tidak berguna dan banyak lagi yang lainnya bentuk dari ketidak percayaan diri.

Ketimbang manfaatnya, sistem ranking di kelas malah lebih banyak madharatnya. Berikut penulis coba tuliskan beberapa hal, mengapa sistem ranking sudah tidak relevan untuk kita jadikan sebagai tolok ukur:

  1. Setiap individu manusia adalah unik. Begitupun setiap anak didik kita di kelas. Dengan keunikan tersebut, maka setiap mereka tidak perlu menguasai seluruh mata pelajaran yang diikutinya. Si Fulan bisa jadi mudah memahami materi-materi matematika, namun bisa jadi di materi-materi pelajaran lain dia kurang memahami. Konsep ini seringkali digambarkan dengan “jangan mengajari ikan memanjat pohon”. Atau ungkapan senada lainnya.
  2. Alih-alih berkolaborasi, peserta didik akan saling menjatuhkan, agar dia nantinya yang akan mengalahkan siapa. Dengan harapan, dia yang akan mendapatkan ranking yang memuaskan di kelasnya. Mereka akan saling mengincar peserta didik yang lebih pintar untuk dijadikan sebagai alat untuk mendongkrak nilai tesnya.
  3. Alih-alih menikmati proses pembelajaran, peserta didik akan merasa tertekan dengan target nilai akhir.
  4. Munculnya kasuistik, peserta didik yang mendapatkan ranking tidak bagus akan mendapatkan perlakuan yang kurang menyenangkan dari teman-temannya yang lain. Menjadi stigma negatif di komunitas belajar.
  5. Bagi beberapa pihak, sistem ranking ini dapat dimanipulasi dengan kekuasaan, nepotisme, dan hal lainnya yang berharga. Sehingga, seringlah terjadi kasus gratifikasi. Orang tua yang membawakan ‘oleh-oleh’ untuk oknum guru yang dapat merubah nilai anak didik tertentu.

Kesimpulan

Cukuplah data nilai, khususnya ranking merupakan data pribadi guru sebagai bentuk asesmen yang diperlukan untuk mengetahui sejauh mana ketercapaian suatu materi bagi peserta didiknya. Orangtua, bahkan peserta didik tidak perlu tahu data tersebut.

Namun, karena masih ada institusi yang memerlukan data ranking dan data nilai guru untuk suatu keperluan tertentu, maka guru kelas dapat menyerahkannya. Tentu akan dalam bentuk resmi. Misalkan untuk keperluan beasiswa, atau diskon yang diberikan oleh suatu lembaga pendidikan lain, misalnya. Itulah mengapa, penulis selalu menanyakan alasan di balik permintaan data ranking anak-anaknya.

Kita dapat berkaca pada pernyataan menteri pendidikan Singapura “Sekolah itu tempat belajar, bukan tempat berkompetisi” Ong Ye Kung. Atau fisikawan terkenal, Albert Einstein “Setiap anak itu jenius. Namun, jika kita menilai ikan dari kemampuannya memanjat pohon, maka ikan itu akan percaya, kalau dia itu bodoh, tidak percaya diri dan tidak yakin akan masa depannya yang tidak bisa memanjat pohon.

Bukankah Allah SWT telah berfirman dalam QS An-Naml ayat 62, yang artinya "Dan (Dialah) yang menjadikan kalian (manusia) sebagai khalifah di bumi." Sepemahaman penulis, firman ini dapat juga diartikan, bahwa setiap manusia itu diciptakan sempurna sebagai pemimpin di bumi.

Akhirnya, semoga kita terus mampu mendampingi anak-anak didik kita sesuai dengan keunikan yang dimilikinya. Tidak fokus pada kekurangan, tapi fokus pada potensi unik yang pasti ada di setiap diri mereka.***

Penulis adalah guru kelas 5 di MI Asih Putera, Ayah dari tiga orang anak.