
Berkarya dan Mendunia
Oleh: Edi S. Ahmad
Nilai seseorang adalah dari karyanya. Boleh jadi seseorang
bekerja tetapi tidak cukup untuk dikatakan berkarya. Jika bekerja adalah
sekedar untuk mendapatkan sesuatu, seperti penghasilan misalnya, maka berkarya
berorientasi untuk memberi. Karena berkarya pada dasarnya adalah mencipta.
Kapan seseorang mesti mulai berkarya? Sebagai seorang
pendidik, saya memimpikan para pemuda usia SMA berani dan mencoba untuk mulai
berkarya. Mari perhatikan! Sejak mereka belajar di bangku sekolah dasar dan
menengah, mereka telah menjalani berbagai aktivitas yang cukup untuk membawa
mereka memahami dirinya. Bahwa mereka mesti bertanggung jawab pada diri
sendiri, membagi waktu untuk sekian banyak tugas yang harus diselesaikan,
disiplin dalam melaksanakan kewajiban dan dalam menunaikan hak-hak orang lain
atas dirinya, termasuk hak Allah SWT.
Pada saat yang sama mereka juga mengembangkan
kegemarannya, bertualang bersama teman-teman sebayanya, dan mencoba hal-hal
baru untuk memuaskan keingintahuannya. Dalam rentang sembilan tahun pendidikan
dasar yang telah dijalaninya secara intensif, telah sewajarnya jika ia telah
menjadi dirinya sendiri. Ia tahu banyak tentang kelemahan dirinya, tetapi juga
mengenal dengan baik potensi besar yang ada di dalam dirinya. Ia tumbuh menjadi
sosok yang optimistis, banyak bersyukur, sekaligus sebagai pribadi yang rendah
hati dan mau terus belajar.
Saat mereka memasuki bangku sekolah lanjutan (SMA atau
yang sederajat), para guru dan kepala sekolah mestilah menyambut kehadiran para
murid barunya dengan antusiasme yang tidak kalah dari optimisme muridnya.
Mereka adalah mitra belajar dan berkarya yang penuh semangat. Masing-masing
mereka datang dengan keinginan menggebu untuk meningkatkan kapasitas dirinya.
Kesadaran untuk meningkatkan kapasitas diri seyogyanyan
dikawal oleh sekolah dengan berbagai cara. Salah satunya adalah dengan
menugaskan siswa membuat proposal diri, yang menggambarkan peta jalan untuk
meraih cita-cita dan masa depan mereka. Mereka perlu menuliskan dalam proposal
tersebut aspek kelemahan diri sebagai bentuk refleksi untuk perbaikan diri. Pun
menuliskan potensi dan kekuatan diri yang boleh jadi akan menjadi modal
pencapaian prestasi mereka ke depan.
Sekiranya setiap murid memiliki peta jalannya sendiri
tentu lebih mudah membimbing mereka mencapai kapasitas yang diharapkan. Peta
jalan itu akan memberi motivasi lebih kepada dirinya. Sebagaimana diketahui,
kapasitas adalah kemampuan untuk menghasilkan, mengalami, memahami, atau
mempelajari sesuatu. Bedakan dengan kapabilitas yang berarti kemampuan atau
kekuatan untuk melakukan sesuatu. Melalui proses pembimbingan yang tepat,
kapasitas murid akan terus meningkat. Pembimbing mengajaknya merencanakan akan
belajar apa, ingin menghasilkan apa, atau mengalami sebuah pengalaman baru apa?
Dengan cara itu kapasitasnya akan terus meningkat.
Masalah kapasitas adalah masalah mindset, cara berpikir.
Seseorang bisa jadi merasa telah sampai pada batas kapasitasnya dan kemudian
berhenti untuk belajar. Padahal boleh jadi yang terjadi bukanlah tidak mampu
akan tetapi tidak cocok dengan metoda belajarnya. Memiliki mindset yang terbuka
-- bahwa saya sebenarnya mampu dan akan terus mencoba belajar -- memungkinkan
ia sampai pada metoda belajar yang lebih cocok dengan kebutuhan dirinya.
Peran sekolah selain membimbing siswa dalam meningkatkan
kapasitasnya, juga memberi kesempatan seluas-luasnya agar kapabilitasnya juga
meningkat. Yaitu dengan menyediakan akses pada kegiatan yang dapat mereka
kelola sendiri. Oleh karenanya organisasi siswa intra sekolah (OSIS atau
sejenisnya) ditantang mengembangkan kegiatannya. Antara lain dengan mendorong inisiatif
rekan-rekannya untuk menyelenggarakan unit-unit aktivitas yang beragam.
Beberapa siswa yang memiliki kegemaran atau minat yang sama bisa berkumpul dan
berorganisasi guna mengelola aktivitasnya. Sebutlah namanya: Unit Aktivitas
Siswa (UAS) Basket, UAS Bahasa Inggris, UAS Kajian Ilmu Alam dan Lingkungan,
UAS Berenang, dll.
Masing-masing UAS dikelola secara mandiri, bertanggung
jawab kepada OSIS, dan masing-masing di bawah bimbingan atau pembinaan seorang
atau lebih guru. Mereka boleh bahkan didorong untuk memiliki anggota
sebanyak-banyaknya, baik di kalangan teman-temannya sendiri, maupun siswa dari
sekolah lain. Hal itu positif untuk memperluas silaturahmi dan jejaring teman.
Dengan langsung terjun mengelola kegiatan, siswa belajar untuk membuat keputusan,
mengelola perbedaan, bernegosiasi, mempertajam kemampuan analisis masalah,
berkomunikasi, berkolaborasi, dan kemampuan-kemampuan lainnya.
Di UAS itulah mereka bergelut untuk menghasilkan karya.
Dengan UAS-nya mereka dapat mengikuti lomba, bahkan menyelenggarakan lomba
juga. Bersama UAS-nya mereka dapat melakukan tour ke berbagai kota untuk tampil
(perform) atau memamerkan karya-karya mereka. Melalui UAS-nya mereka bisa
menjalin pertemanan dengan sebaya mereka di berbagai negara. Dan masih banyak lagi
kegiatan atau aktivitas yang dapat mereka lakukan.
Berkarya dan mendunia tampaknya bukanlah cita-cita yang
terlalu muluk. Ketika akses komunikasi dan informasi sudah sedemikian
mengglobal, dunia seolah hanya selebar layar gadget kita. Melalui media
internet, karya-karya kita dapat dinikmati siapapun di belahan bumi manapun.
Yang perlu diwaspadai, kita berkarya bukanlah untuk mencari popularitas. Sejak
awal sudah kita sudah niatkan, bahwa berkarya adalah bagian dari ibadah. Dan
bahwa klaim itu setidaknya harus memenuhi dua syarat: tidak bertentangan dengan
syariat, dan memberi nilai manfaat.
Dengan cara ini, kiranya para guru akan dengan percaya
diri berteriak lantang, seperti halnya Bung Karno pernah berteriak
lantang: “Beri aku sepuluh pemuda,
niscaya akan kuguncangkan dunia.”
KBB, 29 November 2022 / 8 Jumadil Awwal 1444 H
Edi S. Ahmad (Ketua Yayasan Asih Putera)