Yayasan Asih Putera Hotline : 081320267490
Image

Berkarya dan Mendunia

Oleh: Edi S. Ahmad

Nilai seseorang adalah dari karyanya. Boleh jadi seseorang bekerja tetapi tidak cukup untuk dikatakan berkarya. Jika bekerja adalah sekedar untuk mendapatkan sesuatu, seperti penghasilan misalnya, maka berkarya berorientasi untuk memberi. Karena berkarya pada dasarnya adalah mencipta.

Kapan seseorang mesti mulai berkarya? Sebagai seorang pendidik, saya memimpikan para pemuda usia SMA berani dan mencoba untuk mulai berkarya. Mari perhatikan! Sejak mereka belajar di bangku sekolah dasar dan menengah, mereka telah menjalani berbagai aktivitas yang cukup untuk membawa mereka memahami dirinya. Bahwa mereka mesti bertanggung jawab pada diri sendiri, membagi waktu untuk sekian banyak tugas yang harus diselesaikan, disiplin dalam melaksanakan kewajiban dan dalam menunaikan hak-hak orang lain atas dirinya, termasuk hak Allah SWT. 

Pada saat yang sama mereka juga mengembangkan kegemarannya, bertualang bersama teman-teman sebayanya, dan mencoba hal-hal baru untuk memuaskan keingintahuannya. Dalam rentang sembilan tahun pendidikan dasar yang telah dijalaninya secara intensif, telah sewajarnya jika ia telah menjadi dirinya sendiri. Ia tahu banyak tentang kelemahan dirinya, tetapi juga mengenal dengan baik potensi besar yang ada di dalam dirinya. Ia tumbuh menjadi sosok yang optimistis, banyak bersyukur, sekaligus sebagai pribadi yang rendah hati dan mau terus belajar.

 

Saat mereka memasuki bangku sekolah lanjutan (SMA atau yang sederajat), para guru dan kepala sekolah mestilah menyambut kehadiran para murid barunya dengan antusiasme yang tidak kalah dari optimisme muridnya. Mereka adalah mitra belajar dan berkarya yang penuh semangat. Masing-masing mereka datang dengan keinginan menggebu untuk meningkatkan kapasitas dirinya.

Kesadaran untuk meningkatkan kapasitas diri seyogyanyan dikawal oleh sekolah dengan berbagai cara. Salah satunya adalah dengan menugaskan siswa membuat proposal diri, yang menggambarkan peta jalan untuk meraih cita-cita dan masa depan mereka. Mereka perlu menuliskan dalam proposal tersebut aspek kelemahan diri sebagai bentuk refleksi untuk perbaikan diri. Pun menuliskan potensi dan kekuatan diri yang boleh jadi akan menjadi modal pencapaian prestasi  mereka ke depan.

 

Sekiranya setiap murid memiliki peta jalannya sendiri tentu lebih mudah membimbing mereka mencapai kapasitas yang diharapkan. Peta jalan itu akan memberi motivasi lebih kepada dirinya. Sebagaimana diketahui, kapasitas adalah kemampuan untuk menghasilkan, mengalami, memahami, atau mempelajari sesuatu. Bedakan dengan kapabilitas yang berarti kemampuan atau kekuatan untuk melakukan sesuatu. Melalui proses pembimbingan yang tepat, kapasitas murid akan terus meningkat. Pembimbing mengajaknya merencanakan akan belajar apa, ingin menghasilkan apa, atau mengalami sebuah pengalaman baru apa? Dengan cara itu kapasitasnya akan terus meningkat.

Masalah kapasitas adalah masalah mindset, cara berpikir. Seseorang bisa jadi merasa telah sampai pada batas kapasitasnya dan kemudian berhenti untuk belajar. Padahal boleh jadi yang terjadi bukanlah tidak mampu akan tetapi tidak cocok dengan metoda belajarnya. Memiliki mindset yang terbuka -- bahwa saya sebenarnya mampu dan akan terus mencoba belajar -- memungkinkan ia sampai pada metoda belajar yang lebih cocok dengan kebutuhan dirinya.

 

Peran sekolah selain membimbing siswa dalam meningkatkan kapasitasnya, juga memberi kesempatan seluas-luasnya agar kapabilitasnya juga meningkat. Yaitu dengan menyediakan akses pada kegiatan yang dapat mereka kelola sendiri. Oleh karenanya organisasi siswa intra sekolah (OSIS atau sejenisnya) ditantang mengembangkan kegiatannya. Antara lain dengan mendorong inisiatif rekan-rekannya untuk menyelenggarakan unit-unit aktivitas yang beragam. Beberapa siswa yang memiliki kegemaran atau minat yang sama bisa berkumpul dan berorganisasi guna mengelola aktivitasnya. Sebutlah namanya: Unit Aktivitas Siswa (UAS) Basket, UAS Bahasa Inggris, UAS Kajian Ilmu Alam dan Lingkungan, UAS Berenang, dll.

Masing-masing UAS dikelola secara mandiri, bertanggung jawab kepada OSIS, dan masing-masing di bawah bimbingan atau pembinaan seorang atau lebih guru. Mereka boleh bahkan didorong untuk memiliki anggota sebanyak-banyaknya, baik di kalangan teman-temannya sendiri, maupun siswa dari sekolah lain. Hal itu positif untuk memperluas silaturahmi dan jejaring teman. Dengan langsung terjun mengelola kegiatan, siswa belajar untuk membuat keputusan, mengelola perbedaan, bernegosiasi, mempertajam kemampuan analisis masalah, berkomunikasi, berkolaborasi, dan kemampuan-kemampuan lainnya.

 

Di UAS itulah mereka bergelut untuk menghasilkan karya. Dengan UAS-nya mereka dapat mengikuti lomba, bahkan menyelenggarakan lomba juga. Bersama UAS-nya mereka dapat melakukan tour ke berbagai kota untuk tampil (perform) atau memamerkan karya-karya mereka. Melalui UAS-nya mereka bisa menjalin pertemanan dengan sebaya mereka di berbagai negara. Dan masih banyak lagi kegiatan atau aktivitas yang dapat mereka lakukan.

Berkarya dan mendunia tampaknya bukanlah cita-cita yang terlalu muluk. Ketika akses komunikasi dan informasi sudah sedemikian mengglobal, dunia seolah hanya selebar layar gadget kita. Melalui media internet, karya-karya kita dapat dinikmati siapapun di belahan bumi manapun. Yang perlu diwaspadai, kita berkarya bukanlah untuk mencari popularitas. Sejak awal sudah kita sudah niatkan, bahwa berkarya adalah bagian dari ibadah. Dan bahwa klaim itu setidaknya harus memenuhi dua syarat: tidak bertentangan dengan syariat, dan memberi nilai manfaat.

Dengan cara ini, kiranya para guru akan dengan percaya diri berteriak lantang, seperti halnya Bung Karno pernah berteriak lantang:  Beri aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.”

 

KBB, 29 November 2022 / 8 Jumadil Awwal 1444 H

Edi S. Ahmad (Ketua Yayasan Asih Putera)