![Image](
https://cms.asihputera.sch.id/upload/223a3de4b10c02cb94618c684c0b591c.jpeg
)
Dibiasakan Karena Perlu
Oleh: Edi S. Ahmad
Proses pembiasaan (habituasi) adalah bagian dari proses pendidikan untuk tujuan membiasakan hal-hal baik agar menjadi terbiasa (permanen), atau sebaliknya, menghilangkan kebiasaan buruk agar tidak terus berlanjut. Pembiasaan menekankan pada sisi pengalaman atau mengalami. Diharapkan dari proses mengalami dalam periode waktu tertentu, seseorang dapat berubah perilaku atau kebiasaannya, atau mengubah pola pikir dan cara pandangnya.
Dalam banyak hal kita perlu memiliki sebuah
kebiasaan (baru) jika kebiasaan itu nyata-nyata baik, atau apalagi jika
dihukumi wajib. Contoh sederhananya adalah tilawah atau membaca Alqur’an. Umum
diketahui bahwa kewajiban membaca Alqur’an adalah setara dengan kewajiban
sholat atau kewajiban lainnya di dalam keyakinan Islam. Namun di dalam
praktiknya, secara statistik hanya sepertiga muslim di Indonesia yang dapat
membaca Alqur’an. Dari sepertiga itupun belum tentu membaca Alqur’an secara
rutin setiap hari.
Dalam banyak hal, kita juga perlu menghentikan kebiasaan (lama) jika kebiasaan itu nyata-nyata buruk bagi kita. Bagi kesehatan fisik, jiwa, sosial, atau alam lingkungan. Contohnya adalah mengonsumsi gula atau karbohidrat dalam jumlah yang berlebihan, termasuk mengonsumsi makanan populer semacam “gorengan”, karena alasan kebiasaan. Atau tanpa kita sadari lebih jauh bahwa membuang sampah tanpa proses pemilahan sampah di rumah tangga menjadikan produksi sampah tiga atau empat kali lebih banyak dibandingkan jika sampah tersebut dipilah menjadi sampah organik, sampah anorganik kering, dan sampah anorganik basah (residu). Hanya sampah residulah yang seharusnya masuk ke tempat pembuangan sampah, selebihnya dimanfaatkan untuk hal-hal berguna.
Proses pembiasaan akan terkendala jika
dalam prosesnya tidak ditumbuhkan proses “kesadaran”. Tidak sedikit kita
menemukan fakta dimana anak-anak yang terbiasa sholat di sekolah, namun tidak
melanjutkan kebiasaan itu di rumah atau ketika berada di komunitas sebayanya.
Itu karena pada dirinya belum tumbuh kesadaran itu.
Kesadaran tumbuh dari pemahaman. Pemahaman
dibangun dari pengetahuan. Pengetahuan yang baik disusun dalam satu konstruksi
pengetahuan yang secara sadar dibangun melalui proses bongkar pasang
pengetahuan yang ada dalam dirinya. Jadilah sebuah proses penyusunan
pengetahuan diri yang dilakukan secara aktif.
Pada anak-anak, proses kesadaran itu dapat
ditumbuhkan sedikit demi sedikit untuk memperkuat pengalaman pembiasaan mereka.
Kombinasi antara pengalaman yang diperoleh dari pembiasaan yang konsisten
ditambah dengan kesadaran baru yang tumbuh secara perlahan, diharapkan akan
menjadi perbuatan atau perilaku yang permanen dan konsisten. Tidak hanya
konsisten tetapi juga disertai komitmen yang tinggi.
Kita orang dewasa, barangkali perlu belajar
tentang kebiasaan (baru) itu dari perjalanan Nabi Khidir ‘alayhis-salam bersama
Nabi Musa ‘alayhis-salam. Dalam “ketidaktahuan” Nabi Musa berjalan
bersama untuk belajar kepada Nabi Khidir. Nabi Musa dilarang bertanya hingga
saatnya Nabi Khidir menjelaskan. Dalam ketidaktahuan itu Nabi Musa mengajukan
protes keberatan ketika peristiwa demi peristiwa berjalan di depan matanya.
Sampai pada titik tertentu Nabi Khidir menjelaskan tentang perilaku dan
tindakannya berlandaskan pada pengetahuan dan visinya tentang masa depan. Kisah
lengkapnya dapat kita baca di QS Al Kahfi ayat 60-82.
Kemampuan melihat jauh ke masa depan itulah kiranya yang akan membimbing
kita untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Membiasakan sesuatu
atau membuang suatu kebiasaan. Jika kesehatan adalah penting bagi masa depan,
maka pengetahuan tentang kesehatan itulah seharusnya yang membimbing perilaku
kita.
Adapun perilaku yang konsisten adalah buah dari proses pembiasaan. Dari proses pembiasaan itu boleh jadi kita dihadapkan pada situasi penuh tantangan, berat ataupun ringan. Hanya karena tekad kuat yang berangkat dari pemahaman yang utuhlah, semua tantangan itu pada akhirnya dapat diatasi.
Jika anak-anak belajar bersama pengalaman
menuju kesadaran. Itulah proses pembiasaan. Kita orang dewasa barangkali perlu
belajar dari kesadaran yang dikuatkan dengan pengalaman. Kata kuncinya: dibiasakan.
Wallohu a’lam bish-showab.*
KBB, 22 Agustus 2022
Edi S. Ahmad (Ketua Yayasan Asih Putera)