Konsekuensi Logis Dalam Penerapan Aturan Kelas
- Oleh: Handi Komara, S.Pd.I (Guru Kelas 5 MI Asih Putera)
Pendahuluan (penyampaian masalah)
Cukup miris membaca berita yang diterbitkan oleh Kompas
mengenai Guru yang menghukum muridnya dengan memakan sampah (inknya penulis
sisipkan di bawah tulisan ini). Dan nyaris dapat ditebak, akhirnya sang oknum
guru tersebut meminta maaf.
Hukuman yang diterapkan di sekolah seringkali menjadi momok yang menakutkan bagi sebagian besar peserta didik saat ini. Hal ini sering menjadi alasan bagi mereka untuk takut, malas sekolah. Tidak nyaman ketika dipimpin di bawah aturan. Akhirnya mereka akan memiliki keinginan untuk bebas.
Kebebasan ini berujung pada keburukan bagi setiap
individu. Salah satunya adalah kehilangan jadi diri mereka sendiri. Para
peserta didik akan merasa ada sesuatu makna yang hilang ketika setiap melakukan
segala sesuatu. Makna kebermanfaatan, makna kebaikan atas apa yang mereka
lakukan.
Selain hal tersebut di atas, masih banyak dampak buruk
lain dari penerapan hukuman yang tidak tepat di sekolah.
Pembahasan (penyelesaian masalah)
Sebenarnya, dalam penyusunan aturan di sebuah institusi
pendidikan cukup sederhana. Asalkan kita paham dengan tujuan dan
kebermanfaatannya bagi setiap individu yang
terlibat didalamnya. Solusi tersebut bernama konsekuensi logis.
Di dalam konsekuensi logis, kita hanya akan disodori tiga “jika … dan maka … ” saja. Yaitu:
1. Jika merusak, maka perbaiki (atau ganti)
2. Jika mengabaikan kewajiban, maka kehilangan hak
3. Jika mengganggu, maka dikeluarkan dari kelompok untuk sementara
Sudah. Itu saja!
Sederhana, bukan?
Dari ketiga bentuk konsekuensi tersebut, kita dapat mengembangkan menjadi berbagai aturan yang related (berhubungan), respectful (menghormati), reasonable (masuk akal), helpful (membantu). Keempat prinsip konsekuensi logis tersebut terkenal dengan 3R1H.
Dalam penerapan konsekuensi logis, guru dapat duduk
bersama para peserta didiknya di tempat yang nyaman, diselimuti oleh rasa
kekeluargaan, tanpa tekanan. Guru akan bertindak sebagai fasilitator, bukan
penentu aturan.
Guru bisa saja akan memulai dengan menanyakan: “Hal apa yang tidak menyenangkan ketika berada di kelas?” Jika peserta didik tidak paham dengan arah pertanyaannya, guru dapat menstimulusnya dengan beberapa peristiwa yang dimaksud. Misalkan: “Apakah kalian nyaman dengan kelas yang kotor?”, “Bagaimana rasanya jika di kelas terlalu ribut?”, dan lain sebagainya.
Jika, peserta didik telah tahu maksud pertanyaan pertama,
biasanya akan mengalirlah berbagai keluhan. Maka, ketika hal itu terjadi,
jangan buang-buang waktu lagi, segera catat! Catat di tempat yang mudah dibaca
oleh semua yang hadir.
Seringkali peserta didik akan menyampaikan hal yang tidak menyenangkan itu lebih dari dua kali, namun dengan maksud yang sama. Guru akan dengan sigap menyatukan maksudnya menjadi satu hal saja, dengan tujuan menyederhanakan masalah. Contoh, peserta didik akan tidak nyaman dengan coretan di dinding dengan kalimat: “Pak, Fulan mencorat-coret mejaku! Itu menyebalkan sekali, mejaku menjadi kotor”, “Pak, dinding kelas kita kotor sekali dengan tulisan-tulisan yang mengganggu pemandangan”, “Pak, buku bacaan yang ada di pojok baca selalu saja berisi coretan, sehingga buku itu kurang nyaman untuk dibaca lagi”, dan lain sebagainya.
Nah, dari beberapa pernyataan itu, guru dapat
menyederhanakan menjadi “banyak coretan di berbagai tempat”
Jika sudah tidak ada lagi keluhan, maka guru akan
menyimpulkan berbagai keluhan tersebut dengan menyederhanakannya menjadi
beberapa keluhan ketidaknyamanan saja. Katakanlah 10. Usahakan tidak terlalu
banyak.
Guru akan mulai menuliskan kembali keluhan-keluhan tersebut di tempat lain (yang masih mudah dilihat oleh peserta diskusi), dengan menyisipkan kata “Jika” di awal tulisannya dan kata “maka” di akhirnya. Pastikan juga keluhan tersebut termasuk pada ketiga bentuk konsekuensi logis di atas. Contoh:
1. Jika mencoret-coret, maka … .
2. Jika mengobrol ketika guru sedang menerangkan, maka … .
3. Jika mengotori, maka … .
4. Jika menghina, maka … .
5. Jika telat masuk kelas, maka … .
6. Dan seterusnya.
Jika kita perhatikan dari beberapa keluhan di atas, kita
dapat mengelompokkan menjadi tiga jenis konsekuensi. Misalkan, keluhan pertama
dan ketiga termasuk pada bentuk “Jika merusak”. Maka, konsekuensi logisnya
mudah diterapkan, yaitu “maka perbaiki”
Jika kita perhatikan lagi, pada keluhan kedua, dapat kita
kelompokkan kedalam bentuk konsekuensi logis kedua dan keempat, yaitu “maka
dikeluarkan dari kelompok untuk sementara”. Penulis mempraktikkannya dengan
“time out”, yaitu anak yang bersangkutan akan dipisahkan di suatu tempat yang
telah disepakati bersama selama 5 menit saja. Tempat tersebut adalah di
belakang kelas. Tidak perlu berdiri. Anak boleh melakukan aktivitas lain.
Membaca, duduk, mengaji, dan lain sebagainya, tanpa ditentukan oleh guru.
Untuk keluhan ketiga, kita dapat mengelompokkannya
kedalam bentuk konsekuensi logis ketiga “maka kehilangan hak”. Dalam hal ini,
jika peserta didik telat masuk kelas, maka dia akan kehilangan haknya
mendapatkan materi penjelasan pada materi tersebut. Misalkan, jika bel istirahat
berbunyi, sementara si Fulan masih asyik bermain di gelora, maka si Fulan akan
kehilangan haknya mendapatkan penjelasan materi matematika yang harusnya
diikutinya setelah bel berbunyi. Guru tidak perlu memarahinya, ketika dia
telat. Cukup diminta menunggu di luar kelas dulu sampai jam matematika selesai.
Jika telah selesai, si Fulan dapat masuk kelas. Konsekuensi logisnya, si Fulan
akan ketinggalan materi matematika.
Kalimat setelah “maka” dapat diarahkan oleh guru sesuai dengan tiga butir jenis konsekuensi logis yang telah kita pahami sebelumnya.
Dengan menerapkan ketiga bentuk konsekuensi logis di
setiap penyusunan tata tertib kelas, diharapkan munculnya kebermaknaan dalam
setiap aktivitas belajar di kelas. Konsekuensi logis ini juga dapat diterapkan
di lingkungan rumah, dengan orang tua sebagai fasilitatornya.
Menurut pengalaman penulis, kendala utama dari
konsekuensi logis ini adalah tidak konsistennya penerapan dan tidak adanya
keteladanan. Kedua hal tersebut merupakan tanggung jawab dari guru di sekolah
dan orang tua di rumah, jika mereka berkenan menggunakan konsep ini di rumah
mereka.
Dengan penerapan konsekuensi logis ini, penulis berharap
tidak terjadi lagi, hukuman-hukuman yang malah menimbulkan ketidak percayaan
mereka kepada kita, kepada orang tuanya. Hukuman juga akan menimbulkan
pemberontakan, balas dendam, dan bisa jadi mereka akan memanipulasi
kesalahannya kedalam bentuk lain, di belakang kita.
Semoga ke depannya tidak ada lagi hukuman-hukuman yang tidak berhubungan. Misalkan, ketika si Fulan telat masuk, maka dia akan disuruh untuk lari mengelilingi lapangan. Telat masuk dengan lari mengelilingi lapangan itu tidak ada kaitannya. Apalagi dengan mencuci kakus semakin tidak berhubungan satu sama lain. Jangan ada lagi, ketika ada anak didik kita yang telat mengumpulkan tugas, dia akan disuruh berdiri di depan kelas. Ini akan mempermalukannya, dan akan berbekas lama terhadap perkembangan mentalnya.
Dan ke depannya tidak ada lagi, anak dipaksa makan sampah ketika mereka berisik. Ini akan menimbulkan pemberontakan, dendam di masa yang akan datang.
.