Yayasan Asih Putera Hotline : 081320267490
Image

Konsekuensi Logis Dalam Penerapan Aturan Kelas

  • Oleh: Handi Komara, S.Pd.I  (Guru Kelas 5 MI Asih Putera)

Pendahuluan (penyampaian masalah)

Cukup miris membaca berita yang diterbitkan oleh Kompas mengenai Guru yang menghukum muridnya dengan memakan sampah (inknya penulis sisipkan di bawah tulisan ini). Dan nyaris dapat ditebak, akhirnya sang oknum guru tersebut meminta maaf.

Hukuman yang diterapkan di sekolah seringkali menjadi momok yang menakutkan bagi sebagian besar peserta didik saat ini. Hal ini sering menjadi alasan bagi mereka untuk takut, malas sekolah. Tidak nyaman ketika dipimpin di bawah aturan. Akhirnya mereka akan memiliki keinginan untuk bebas.

Kebebasan ini berujung pada keburukan bagi setiap individu. Salah satunya adalah kehilangan jadi diri mereka sendiri. Para peserta didik akan merasa ada sesuatu makna yang hilang ketika setiap melakukan segala sesuatu. Makna kebermanfaatan, makna kebaikan atas apa yang mereka lakukan.

Selain hal tersebut di atas, masih banyak dampak buruk lain dari penerapan hukuman yang tidak tepat di sekolah.

Pembahasan (penyelesaian masalah)

Sebenarnya, dalam penyusunan aturan di sebuah institusi pendidikan cukup sederhana. Asalkan kita paham dengan tujuan dan kebermanfaatannya bagi setiap individu yang  terlibat didalamnya. Solusi tersebut bernama konsekuensi logis.

 Konsekuensi logis adalah sebuah akibat yang sudah diketahui dan disepakati sebelumnya atas pilihan anak (Amalee : 2020). Selama guru dan peserta didik mengetahui secara jelas, apa yang harus dilakukan ketika terjadi hal-hal yang membuat kelas menjadi tidak nyaman, tidak kondusif, maka hukuman sebenarnya sudah tidak diperlukan lagi.

Di dalam konsekuensi logis, kita hanya akan disodori tiga “jika … dan maka … ” saja. Yaitu:

1.      Jika merusak, maka perbaiki (atau ganti)

2.      Jika mengabaikan kewajiban, maka kehilangan hak

3.      Jika mengganggu, maka dikeluarkan dari kelompok untuk sementara

Sudah. Itu saja! Sederhana, bukan?                              

Dari ketiga bentuk konsekuensi tersebut, kita dapat mengembangkan menjadi berbagai aturan yang related (berhubungan), respectful (menghormati), reasonable (masuk akal), helpful (membantu). Keempat prinsip konsekuensi logis tersebut terkenal dengan 3R1H.

Dalam penerapan konsekuensi logis, guru dapat duduk bersama para peserta didiknya di tempat yang nyaman, diselimuti oleh rasa kekeluargaan, tanpa tekanan. Guru akan bertindak sebagai fasilitator, bukan penentu aturan.

Guru bisa saja akan memulai dengan menanyakan: “Hal apa yang tidak menyenangkan ketika berada di kelas?” Jika peserta didik tidak paham dengan arah pertanyaannya, guru dapat menstimulusnya dengan beberapa peristiwa yang dimaksud. Misalkan: “Apakah kalian nyaman dengan kelas yang kotor?”, “Bagaimana rasanya jika di kelas terlalu ribut?”, dan lain sebagainya.

Jika, peserta didik telah tahu maksud pertanyaan pertama, biasanya akan mengalirlah berbagai keluhan. Maka, ketika hal itu terjadi, jangan buang-buang waktu lagi, segera catat! Catat di tempat yang mudah dibaca oleh semua yang hadir.

Seringkali peserta didik akan menyampaikan hal yang tidak menyenangkan itu lebih dari dua kali, namun dengan maksud yang sama. Guru akan dengan sigap menyatukan maksudnya menjadi satu hal saja, dengan tujuan menyederhanakan masalah. Contoh, peserta didik akan tidak nyaman dengan coretan di dinding dengan kalimat: “Pak, Fulan mencorat-coret mejaku! Itu menyebalkan sekali, mejaku menjadi kotor”, “Pak, dinding kelas kita kotor sekali dengan tulisan-tulisan yang mengganggu pemandangan”, “Pak, buku bacaan yang ada di pojok baca selalu saja berisi coretan, sehingga buku itu kurang nyaman untuk dibaca lagi”, dan lain sebagainya.

Nah, dari beberapa pernyataan itu, guru dapat menyederhanakan menjadi “banyak coretan di berbagai tempat”

Jika sudah tidak ada lagi keluhan, maka guru akan menyimpulkan berbagai keluhan tersebut dengan menyederhanakannya menjadi beberapa keluhan ketidaknyamanan saja. Katakanlah 10. Usahakan tidak terlalu banyak.

Guru akan mulai menuliskan kembali keluhan-keluhan tersebut di tempat lain (yang masih mudah dilihat oleh peserta diskusi), dengan menyisipkan kata “Jika” di awal tulisannya dan kata “maka” di akhirnya. Pastikan juga keluhan tersebut termasuk pada ketiga bentuk konsekuensi logis di atas. Contoh:

1.      Jika mencoret-coret, maka … .

2.      Jika mengobrol ketika guru sedang menerangkan, maka … .

3.      Jika mengotori, maka … .

4.      Jika menghina, maka … .

5.      Jika telat masuk kelas, maka … .

6.      Dan seterusnya.

Jika kita perhatikan dari beberapa keluhan di atas, kita dapat mengelompokkan menjadi tiga jenis konsekuensi. Misalkan, keluhan pertama dan ketiga termasuk pada bentuk “Jika merusak”. Maka, konsekuensi logisnya mudah diterapkan, yaitu “maka perbaiki”

Jika kita perhatikan lagi, pada keluhan kedua, dapat kita kelompokkan kedalam bentuk konsekuensi logis kedua dan keempat, yaitu “maka dikeluarkan dari kelompok untuk sementara”. Penulis mempraktikkannya dengan “time out”, yaitu anak yang bersangkutan akan dipisahkan di suatu tempat yang telah disepakati bersama selama 5 menit saja. Tempat tersebut adalah di belakang kelas. Tidak perlu berdiri. Anak boleh melakukan aktivitas lain. Membaca, duduk, mengaji, dan lain sebagainya, tanpa ditentukan oleh guru.

Untuk keluhan ketiga, kita dapat mengelompokkannya kedalam bentuk konsekuensi logis ketiga “maka kehilangan hak”. Dalam hal ini, jika peserta didik telat masuk kelas, maka dia akan kehilangan haknya mendapatkan materi penjelasan pada materi tersebut. Misalkan, jika bel istirahat berbunyi, sementara si Fulan masih asyik bermain di gelora, maka si Fulan akan kehilangan haknya mendapatkan penjelasan materi matematika yang harusnya diikutinya setelah bel berbunyi. Guru tidak perlu memarahinya, ketika dia telat. Cukup diminta menunggu di luar kelas dulu sampai jam matematika selesai. Jika telah selesai, si Fulan dapat masuk kelas. Konsekuensi logisnya, si Fulan akan ketinggalan materi matematika.

Kalimat setelah “maka” dapat diarahkan oleh guru sesuai dengan tiga butir jenis konsekuensi logis yang telah kita pahami sebelumnya.

 Kesimpulan (harapan)

Dengan menerapkan ketiga bentuk konsekuensi logis di setiap penyusunan tata tertib kelas, diharapkan munculnya kebermaknaan dalam setiap aktivitas belajar di kelas. Konsekuensi logis ini juga dapat diterapkan di lingkungan rumah, dengan orang tua sebagai fasilitatornya.

Menurut pengalaman penulis, kendala utama dari konsekuensi logis ini adalah tidak konsistennya penerapan dan tidak adanya keteladanan. Kedua hal tersebut merupakan tanggung jawab dari guru di sekolah dan orang tua di rumah, jika mereka berkenan menggunakan konsep ini di rumah mereka.

Dengan penerapan konsekuensi logis ini, penulis berharap tidak terjadi lagi, hukuman-hukuman yang malah menimbulkan ketidak percayaan mereka kepada kita, kepada orang tuanya. Hukuman juga akan menimbulkan pemberontakan, balas dendam, dan bisa jadi mereka akan memanipulasi kesalahannya kedalam bentuk lain, di belakang kita.

Semoga ke depannya tidak ada lagi hukuman-hukuman yang tidak berhubungan. Misalkan, ketika si Fulan telat masuk, maka dia akan disuruh untuk lari mengelilingi lapangan. Telat masuk dengan lari mengelilingi lapangan itu tidak ada kaitannya. Apalagi dengan mencuci kakus semakin tidak berhubungan satu sama lain. Jangan ada lagi, ketika ada anak didik kita yang telat mengumpulkan tugas, dia akan disuruh berdiri di depan kelas. Ini akan mempermalukannya, dan akan berbekas lama terhadap perkembangan mentalnya.

Dan ke depannya tidak ada lagi, anak dipaksa makan sampah ketika mereka berisik. Ini akan menimbulkan pemberontakan, dendam di masa yang akan datang.

 Sumber: https://regional.kompas.com/read/2022/01/30/053000878/pengakuan-ms-guru-sd-yang-hukum-muridnya-makan-sampah--saya-emosi-dan?page=all

.