Membesar-besarkan Syi’ar Islam Bukti Ketakwaan Hati
Oleh: Edwin Wahyudin, M.Pd. (Guru MA Multiteknik
Asih Putera)
Bulan Rajab sebentar lagi
akan selesai. Selanjutnya akan digantikan oleh bulan yang tidak kalah mulianya,
yaitu bulan Sya’ban. Bulan Rajab merupakan salah satu bulan Allah. Artinya,
bulan ini termasuk bulan yang dimuliakan atau yang diagungkan, bukan hanya oleh
manusia, tetapi oleh Allah SWT. Rasulullah, Muhammad Saw.,
menegaskan soal kemuliaan bulan Rajab itu, yakni: "Bulan Rajab adalah
bulan Allah SWT yang besar dan bulan kemuliaan. Di dalam bulan ini perang
dengan orang kafir diharamkan. Rajab adalah bulan Allah SWT, Sya'ban adalah
bulanku, dan Ramadhan adalah bulan umatku".
Mengapa bulan Rajab ini menjadi sangat dimuliakan? Salah satu
peristiwa besar yang dialami oleh penjuru selamat dunia, Nabiyullah akhir
zaman, Muhammad Saw. adalah diturunkannya ketentuan ibadah shalat yang lima
waktu kepada ummat Islam. Peristiwa ini dikenal dengan kejadian isra mi’raj-nya
Nabi Muhammad Saw. Peristiwa yang luar biasa, kejadian yang sulit diterima akal
manusia. Perjalanan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa ditempuh hanya dalam
beberapa menit saja. Padahal, jarak antara Masjidil Haram di Mekkah dan
Masjidil Aqsa di Palestina sekitar 1.500 km, yang memerlukan masa perjalanan
naik unta atau kuda sekitar 40 hari lamanya. Setelah itu, perjalanan
dilanjutkan dari Masjidil Aqsa ke Sidratul Muntaha. Sidhatul Muntaha adalah
sejenis pohon. Pohon ini adalah ujungnya semesta dan ia terletak setelah
puncaknya langit ketujuh. Hal ini ditegaskan dalam sebuah riwayat oleh Ibnu
Mas’ud dari Rasulullah Saw. yang mengatakan bahwa Sidratul Muntaha adalah
pangkal dari semua yang naik. Pohon ini terletak di sebuah tempat yang sangat
tinggi. Sidratul Muntaha terletak di langit ketujuh. Tak hanya itu, Sidratul
Muntaha juga dikatakan sangat berdekatan dengan Surga. Hal ini dijelaskan dalam
QS. An-Najm: 12-18. Jadi sangat jelas, perjalanan dari Masjidil Aqsa (bumi) ke
langit ketujuh bukanlah perjalanan yang dekat. Dari Abdullah bin Mas’ud r.a., “Antara
langit dengan langit yang setelahnya adalah 500 tahun perjalanan, dan jarak
langit dengan bumi adalah 500 tahn perjalanan. Antara langit ketujuh dengan
kursi adalah perjalanan 500 tahun, dan Arsy berada di atas air dan Allah berada
di atas Arsy, tidak ada satupun dari amal perbuatan kalian tersamar atas-Nya”.
(HR. Darimi, Ibnul Khuzaimah, Thabrani, Baihaqi), dishahihkan oleh Ibnu Qoyim,
adz-Dzahabi, Syaikh as-Duwaisy menurut syarat Muslim.
“Antara langit dengan bumi adalah 500 tahun perjalanan dan tebal
setiap langit adalah 500 tahun perjalanan”, HR. Thabrani.
Maka, Subhanallah !!! menjadi kalimat
pembuka pada surat pertama al-Isra, 17:1. Kalimat yang menggambarkan dahsyatnya
perjalanan “Isra’ Mi’raj” Nabi Muhammad Saw. Artinya menegaskan bahwa hanya
atas seizin Allah dan atas kehendak Allah-lah semua itu bisa terjadi.
Perjalanan yang sangat jauh hanya ditempuh dalam beberapa jam saja. Tidak
dihitung saat berangkat saja, tetapi penghitungan bolak-balik dengan beberapa
peristiwa di dalamnya sampai kembalinya Rasulullah Saw ke Masjidil Haram,
Mekkah.
Kejadian luar biasa ini dijadikan sebagai peristiwa bersejarah
dalam Islam. Umat Islam di Indonesia mengabadikan peristiwa ini dengan
senantiasa memperingatinya dengan kajian-kajian besar di setiap surau-surau,
masjid-masjid kecil, sampai ke masjid-masjid besar yang ada di setiap pelosok
negeri Indonesia.
Membesar-besarkan peristiwa Isra’ Mi’raj ini diyakini sebagai
bentuk penghormatan dan pentakziman terhadap Rasulullah Saw. dan tentu saja
sebagai bentuk pengagungan terhadap Yang Mahaagung, Allah SWT. Ini disitir
dalam QS. Al-Hajj, 22:32
“Demikianlah (perintah
Allah). Siapa yang mengagungkan syiar-syiar Allah sesungguhnya hal itu termasuk
dalam ketakwaan hati”.
Dalam tafsir, yang dimaksud syiar pada ayat tersebut adalah
syiar-syiar dalam pelaksanaan ibadah haji, salah satunya tentang berqurban.
Berqurban harus dilakukan dengan yang terbaik. Namun, dalam pemaknaan umum,
syiar ini diartikan sebagai pengamalan terhadap ajaran-ajaran Islam yang
dilakukan sebaik-baiknya.
Kaitannya dengan peristiwa Isra Mi’raj ini adalah semangat
pengamalan shalat yang lima waktu dan pengamalan shalat-shalat sunnat yang
sangat dianjurkan. Jika di dalam peringatan itu diisi dengan motivasi dan
ajaran yang baik, maka proses peringatannya menjadi baik dan menjadi bagian
dari pengagungan syiar-syiar Allah SWT itu sendiri.
Amalan-amalan apa sajakah yang bisa menjadi bukti pengagungan
syiar-syiar Islam di bulan Rajab?
1.
Saum sunnah; Siapa saja yang
melaksanakan saum sunnah di bulan Rajab, maka di Yaumil Akhir, dia tidak akan
merasakan kehausan dan kelaparan.
2.
Memperbanyak shalawat atas
Nabiyullah Muhammad Saw.; salah satu amalan yang tidak akan ditolak oleh Allah
SWT adalah bershalawat kepada Nabi Muhammad Saw. Sementara amalan-amalan lain
seperti shalat, puasa, sedekah, dll., bisa diterima atau ditolak. Mengapa
shalawat atas Nabi Muhammad Saw. tidak ditolak? Karena keagungan Rasulullah
Saw.
3.
Memperbanyak shalat sunnah;
semakin banyak melaksanakan shalat sunnah, semakin banyak pula dia melakukan
rukuk dan sujud. Rasulullah Saw. menyampaikan bahwa saat seseorang berdiri
melaksanakan shalat, dosa-dosanya dihimpunkan di atas kepala dan pundaknya.
Saat dia rukuk dan sujud, maka berguguranlah dosa-dosanya. Oleh karena itu,
memperpanjang rukuk dan sujud saat shalat adalah amalan yang sangat dianjurkan.
4.
Memperbanyak infak dan sedekah; berinfak
dengan harta kita, baik kepada mereka yang meminta-minta atau kepada mereka
yang diam (malu untuk meminta-minta) dan bersedekah dengan yang kita miliki,
baik harta, tenaga, maupun pikiran kita. Bahkan, tersenyum untuk menyenangkan
orang lain adalah sedekah.
Pada dasarnya amalan-amalan baik tersebut dilakukan pada bulan
apapun tetap baik dan bernilai pahala, akan tetapi di bulan Rajab ini menjadi
kelebihan tersendiri karena bulan Rajab merupakan dari empat bulan haram yang
di dalamnya tidak diperkenankan melakukan kemaksiatan dan kemunkaran, termasuk
peperangan. Dalam sebuah riwayat disampaikan bahwa bulan Rajab adalah masa
menanam, bulan Sya’ban masa memupuk, dan bulan Ramadhan adalah masa panen. Oleh
karena itu, mari akhiri di masa menanam ini dengan memperbaiki kualitas dan
kuantitas amalan-amalan wajib dan amalan sunnah. Allah lebih tahu apa yang
hambanya niatkan dan mereka amalkan.
Bismillahi tawakkaltu ‘alallah, laa haula walaa quwwata illa
billah. Mari kita besar-besarkan syiar-syiar Allah (Islam) dengan semua amalan
yang kita bisa. Mudah-mudahan itu menjadi bukti ketakwaan hati kita seperti
yang termaktub dalam QS. Al-Hajj, 22:32. Hanya Allah-lah yang menjadi tujuan
dan tumpuan harapan amal. Sekecil apapun yang dilakukan, selama niat ikhlas,
Allah -lah yang lebih tahu dan pantas menjawab dan menerima semua amalan kita.
Wallahu A’lam.***