- 2021-08-30 13:50:00
- Artikel
Mengurus Jenazah Covid-19 (Bag.1)
Mengurus Jenazah Covid-19
Secara Syariah dan
Medis (Bag.1)
Seseorang yang meninggal karena terpapar virus Covid-19,
meninggalkan kedukaan yang luar biasa untuk keluarganya. Karena jenazah yang
“sudah dicovidkan”, itu artinya pihak
keluarga tidak akan bisa lagi untuk mengurusnya sebagaimana terhadap jenazah
non Covid.
Kesempatan keluarga untuk memberikan penghormatan
terakhir kepada jenazah dengan cara memandikan, mengafani, menyolatkan dan
menguburkan pupus sudah. Karena jenazah pasien Covid-19 harus diperlakukan
secara khusus, untuk menghindari terjadinya penyebaran virus dari jenazah
kepada yang mengurusnya.
Ini menjadi polemik yang sangat dilematis, menimbulkan
pro dan kontra, terutama di kalangan umat Islam. Banyak informasi yang simpang
siur di masyarakat, tidak jelas sumber dan kebenarannya. Sebagian isyu yang
berkembang adalah, bahwa jenazah (muslim) yang meninggal karena Covid di RS
tidak dimandikan dan hanya disemprot disinfektan, tidak dikafani hanya dibungkus
plastik lalu dimasukkan ke dalam kantong jenazah, terakhir dimasukkan ke dalam
peti dan langsung dikuburkan.
Bagaimana statusnya menurut syariat Islam? Apakah secara
fiqih bisa dibenarkan atau melanggar syariat? Lalu bagaimana dasar pertimbangan
medisnya?
Semua fakta dan pertanyaan di atas menjadi kupasan yang sangat
menarik dalam acara Webinar Series
yang diadakan oleh Yayasan Asih Putera, pada Sabtu 28 Agustus 2021 yang lalu.
Webinar yang diikuti oleh entitas Asih Putera dan
masyarakat umum ini menghadirkan dua narasumber yaitu K.H. Harun Ar Rosyid, M.A.,
(Pimpinan Pondok Pesantren Misykatul Mashobih) dan dr. Dodi Nugraha, M.Kes., (Konsultan
Kesehatan, Dosen dan Pendiri Personal Healthcare Group). Hadir juga secara virtual
Ketua Yayasan Asih Putera Ir. H. Edi Sudrajat Ahmad, Ketua
Dewan Pendiri Drs. H. Asep Mamat, M.M., dan Ketua Dewan Pengawas Ir.
H. Adang Kosasih Ahmad, M.M.
1. K.H. Harun Ar Rosyid
K.H. Harun Ar Rosyid menegaskan, bahwa agama itu pada
dasarnya mudah. Tidak mempersulit umatnya. Jadi jangan mempersulit susuatu yang
sesungguhnya bisa dipermudah.
Memandikan jenazah itu secara umum pada prinsipnya sama dengan
mandi besar, harus menggunakan air yang
suci dan menyucikan. Yang penting adalah semuanya basah dan merata ke seluruh
tubuh.
Bahkan jika tidak ada tempat, ekstrimnya dicelupkan saja
ke kolam pun itu sah. Begitu dimudahkannya oleh Islam. Memandikan jenazah yang
diduga dapat menularkan penyakit berbahaya, maka tidak perlu disentuh, cukup
disiram shower atau selang dari kejauhan.
Begitu mudahnya, bahkan jika ada kasus, laki-laki muslim
meninggal dunia dan hanya ada wanita muslimah dan laki-laki kafir, maka dia
dimandikan oleh laki-laki kafir. Jadi, jika tidak ada orang muslim yang
memandikan, dimandikan oleh orang kafirpun sah, asal ada ikhtiar sebelumnya.
Memandikan jenazah harus menggunakan air suci yang menyucikan, tidak dicampur sabun,
kapur barus, daun bidara, atau lainnya. Tetapi diantara basuhan-basuhan itu
boleh menggunakan sabun dan sejenisnya, tapi tetap ada basuhan dengan air murni.
Untuk yang meninggal karena tenggelam, tetap harus
dimandikan karena belum ada ikhtiar memandikan maka tetap harus dimandikan.
Jenazah yang syahid dalam peperangan tidak perlu dimandikan dan dikafani. Dia hanya
disholatkan dan dimakamkan dengan pakaian yang melekat padanya.
Kemusykilan yang menjadi pertanyaan saat ini adalah tentang
jenazah yang disemprot disinfektan, apakah sah dan dibolehkan secara syariat?
Mengurus jenazah yang terpapar Covid-19 tetap harus
memenuhi ketentuan syariat. Pertama-tama jenazah disemprot dengan air mutlak yang
suci menyucikan, setelah itu baru disemprot dengan disinfektan, sedangkan mewudhukan
jenazah adalah sunnah. Dalam kondisi darurat ambil perkara yang wajibnya saja.
Dalam kondisi normal perkara-perkara sunnah boleh
dikerjakan, dalam kondisi darurat yang penting adalah perkara wajib
tertunaikan.
Terkait masalah kain kaffan, sunahnya adalah menggunakan kain
putih. Pengertian kaffan adalah menutup aurat dan juga mayitnya. Pernah ada
sahabat yang jenazahnya dibungkus oleh dedaunan. Andai kain kaffan adalah wajib,
maka tentu Rasul akan meminta sahabat lain untuk menutupnya dengan kain. Jika
sekarang jenazah Covid ditutup dengan kantong jenazah warna kuning dan bukan putih,
itu tidak masalah.
Jenazah yang dikuburkan menggunakan peti atau tidak memakai
peti, juga tidak masalah. Wajibnya adalah
memasukan jenazah ke dalam liang lahat, ditimbun dan tidak sampai tercium
baunya serta harus menghadap kiblat.
Ada beberapa contoh kasus jenazah Covid dan jalan keluarnya:
1. Jika jenazah hanya disemprot disinfektan dan
tidak menggunakan air, apakah boleh langsung disholatkan?
Mayoritas ulama menegaskan, jika jenazah tidak
dimandikan maka tidak bisa disholatkan. Karena syaratnya harus dimandikan dulu
baru disolatkan. Tetapi sebagian ulama mengatakan tetap sah untuk kondisi darurat dan bisa
disholatkan.
2. Jika jenazah sudah dikuburkan dan menggunakan disinfektan,
ternyata baru terbukti hasil pemeriksaannya negatif Covid, apa yang harus
dilakukan?
Jika kondisi mayat masih baik-baik saja
dan belum lama, maka jenazah dikeluarkan dari makam kemudian dimandikan serta
diberlakukan ketentuan fiqih sesuai dengan tata cara yang normal.
Covid-19 dianggap sebagai Thoun, seperti
yang pernah terjadi di zaman sahabat. Mereka yang mati karena Thoun dianggap
mati syahid, jadi walaupun tidak tertunaikan segala kewajiban terhadap jenazah,
kita tinggal berdoa agar mayit dihitung sebagai syahid akherat/ukhrowi bukan
sebagai syahid secara fiqih seperti mati dalam peperangan.
Kita harus bisa memahami ukuran darurat
atau bahaya tidaknya. Jika jenazah dipastikan secara medis membahayakan, maka
secara fiqih jangan diterjang, jangan disentuh tetapi tetap dimandikan dengan
cara disemprot dari jauh.* (erg)