Yayasan Asih Putera Hotline : 081320267490
Image

Mengurus Jenazah Covid-19 (Bag.1)

Mengurus Jenazah Covid-19

Secara Syariah dan Medis (Bag.1)


Seseorang yang meninggal karena terpapar virus Covid-19, meninggalkan kedukaan yang luar biasa untuk keluarganya. Karena jenazah yang “sudah dicovidkan”,  itu artinya pihak keluarga tidak akan bisa lagi untuk mengurusnya sebagaimana terhadap jenazah non Covid.

 Kesempatan keluarga untuk memberikan penghormatan terakhir kepada jenazah dengan cara memandikan, mengafani, menyolatkan dan menguburkan pupus sudah. Karena jenazah pasien Covid-19 harus diperlakukan secara khusus, untuk menghindari terjadinya penyebaran virus dari jenazah kepada yang mengurusnya.

 Ini menjadi polemik yang sangat dilematis, menimbulkan pro dan kontra, terutama di kalangan umat Islam. Banyak informasi yang simpang siur di masyarakat, tidak jelas sumber dan kebenarannya. Sebagian isyu yang berkembang adalah, bahwa jenazah (muslim) yang meninggal karena Covid di RS tidak dimandikan dan hanya disemprot disinfektan, tidak dikafani hanya dibungkus plastik lalu dimasukkan ke dalam kantong jenazah, terakhir dimasukkan ke dalam peti dan langsung dikuburkan.

 Bagaimana statusnya menurut syariat Islam? Apakah secara fiqih bisa dibenarkan atau melanggar syariat? Lalu bagaimana dasar pertimbangan medisnya?

 Semua fakta dan pertanyaan di atas menjadi kupasan yang sangat menarik dalam acara Webinar Series yang diadakan oleh Yayasan Asih Putera, pada Sabtu 28 Agustus 2021 yang lalu.

 Webinar yang diikuti oleh entitas Asih Putera dan masyarakat umum ini menghadirkan dua narasumber yaitu K.H. Harun Ar Rosyid, M.A., (Pimpinan Pondok Pesantren Misykatul Mashobih) dan  dr. Dodi Nugraha, M.Kes., (Konsultan Kesehatan, Dosen dan Pendiri Personal Healthcare Group). Hadir juga secara virtual Ketua Yayasan Asih Putera Ir. H. Edi Sudrajat Ahmad, Ketua Dewan Pendiri Drs. H. Asep Mamat, M.M., dan Ketua Dewan Pengawas Ir. H. Adang Kosasih Ahmad, M.M.

 

1. K.H. Harun Ar Rosyid

 K.H. Harun Ar Rosyid menegaskan, bahwa agama itu pada dasarnya mudah. Tidak mempersulit umatnya. Jadi jangan mempersulit susuatu yang sesungguhnya bisa dipermudah.

 Memandikan jenazah itu secara umum pada prinsipnya sama dengan mandi besar, harus menggunakan  air yang suci dan menyucikan. Yang penting adalah semuanya basah dan merata ke seluruh tubuh.

 Bahkan jika tidak ada tempat, ekstrimnya dicelupkan saja ke kolam pun itu sah. Begitu dimudahkannya oleh Islam. Memandikan jenazah yang diduga dapat menularkan penyakit berbahaya, maka tidak perlu disentuh, cukup disiram shower atau selang dari kejauhan.

 Begitu mudahnya, bahkan jika ada kasus, laki-laki muslim meninggal dunia dan hanya ada wanita muslimah dan laki-laki kafir, maka dia dimandikan oleh laki-laki kafir. Jadi, jika tidak ada orang muslim yang memandikan, dimandikan oleh orang kafirpun sah, asal ada ikhtiar sebelumnya.  

 Memandikan jenazah harus menggunakan  air suci yang menyucikan, tidak dicampur sabun, kapur barus, daun bidara, atau lainnya. Tetapi diantara basuhan-basuhan itu boleh menggunakan sabun dan sejenisnya, tapi tetap ada basuhan dengan air murni.

 Untuk yang meninggal karena tenggelam, tetap harus dimandikan karena belum ada ikhtiar memandikan maka tetap harus dimandikan. Jenazah yang syahid dalam peperangan tidak perlu dimandikan dan dikafani. Dia hanya disholatkan dan dimakamkan dengan pakaian yang melekat padanya.

 Kemusykilan yang menjadi pertanyaan saat ini adalah tentang jenazah yang disemprot disinfektan, apakah sah dan dibolehkan secara syariat?

 Mengurus jenazah yang terpapar Covid-19 tetap harus memenuhi ketentuan syariat. Pertama-tama jenazah disemprot dengan air mutlak yang suci menyucikan, setelah itu baru disemprot dengan disinfektan, sedangkan mewudhukan jenazah adalah sunnah. Dalam kondisi darurat ambil perkara yang wajibnya saja.

 Dalam kondisi normal perkara-perkara sunnah boleh dikerjakan, dalam kondisi darurat yang penting adalah perkara wajib tertunaikan.

 Terkait masalah kain kaffan, sunahnya adalah menggunakan kain putih. Pengertian kaffan adalah menutup aurat dan juga mayitnya. Pernah ada sahabat yang jenazahnya dibungkus oleh dedaunan. Andai kain kaffan adalah wajib, maka tentu Rasul akan meminta sahabat lain untuk menutupnya dengan kain. Jika sekarang jenazah Covid ditutup dengan kantong jenazah warna kuning dan bukan putih, itu tidak masalah.

 Jenazah yang dikuburkan menggunakan peti atau tidak memakai peti, juga tidak masalah.  Wajibnya adalah memasukan jenazah ke dalam liang lahat, ditimbun dan tidak sampai tercium baunya serta harus menghadap kiblat.

 Ada beberapa contoh kasus jenazah Covid dan jalan keluarnya:

1.   Jika jenazah hanya disemprot disinfektan dan tidak menggunakan air, apakah boleh langsung disholatkan?

     Mayoritas ulama menegaskan, jika jenazah tidak dimandikan maka tidak bisa disholatkan. Karena syaratnya harus dimandikan dulu baru disolatkan. Tetapi sebagian ulama mengatakan  tetap sah untuk kondisi darurat dan bisa disholatkan.

2.   Jika jenazah sudah dikuburkan dan menggunakan disinfektan, ternyata baru terbukti hasil pemeriksaannya negatif Covid, apa yang harus dilakukan?

     Jika kondisi mayat masih baik-baik saja dan belum lama, maka jenazah dikeluarkan dari makam kemudian dimandikan serta diberlakukan ketentuan fiqih sesuai dengan tata cara yang normal.

     Covid-19 dianggap sebagai Thoun, seperti yang pernah terjadi di zaman sahabat. Mereka yang mati karena Thoun dianggap mati syahid, jadi walaupun tidak tertunaikan segala kewajiban terhadap jenazah, kita tinggal berdoa agar mayit dihitung sebagai syahid akherat/ukhrowi bukan sebagai syahid secara fiqih seperti mati dalam peperangan.

     Kita harus bisa memahami ukuran darurat atau bahaya tidaknya. Jika jenazah dipastikan secara medis membahayakan, maka secara fiqih jangan diterjang, jangan disentuh tetapi tetap dimandikan dengan cara disemprot dari jauh.* (erg)